Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)

Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat? (lebih…)

Published in: on Oktober 4, 2007 at 1:54 pm  Komentar Dinonaktifkan pada Ummu Habibah binti Abu Sufyan (wafat 44 H/664 M)  

Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu’anhu

Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on Oktober 4, 2007 at 6:39 am  Komentar Dinonaktifkan pada Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu’anhu  

Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah

Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.

Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah. Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)

Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”

Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan makanan beliau dan keluarganya.

Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.

Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.

Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H.

Sumber: Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh 5-7

Published in: on Oktober 4, 2007 at 6:35 am  Komentar Dinonaktifkan pada Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah  

Al-Hafidh Al-Mundziri (581- 656 H)

Kelahirannya

Ia adalah seorang hafidh yang besar, Zakiyyuddin Abdul ‘Adhim bin Abdul-Qawiy bin Abdullah bin Salamah Abu Muhammad Al-Mundziri, berasal dari Damaskus, namun dilahirkan dan wafat di Mesir. Ia dilahirkan pada tahun 581 H.

Guru-Gurunya

Ia belajar Al-Qur’an dan mendalaminya. Kemudian belajar ilmu hadits hingga mahir. Ia mendengar hadits dari sejumlah ulama’ hadits, seperti Abul-Hasan Ali bin Mufadldlal Al-Muqaddasi. Ia berguru kepadanya hingga tamat. Di Madinah kota Nabi, ia berguru kepada Al-Hafidh Ja’far bin Umusan. Di Damaskus, ia berguru pada ‘Umar bin Thabrazad. Ia juga berguru ke Najran. Iskandariyah, Raha, dan Baitul-Maqdis. Ia mulai berguru pada tahun 591 H ketika berusia sepuluh tahun.

Murid-Muridnya

Sejumlah ulama yang pernah belajar hadits padanya antara lain Al-Hafidh Ad-Dimyathi yang berguru sampai tamat, Al-‘Allamah Taqiyyuddin Ibnu Daqqiiqil-‘Ied, Al-Yunaini Abul-Husain, Ismail bin Asakir, dan Syarif ‘Izzudin.

Ia mengajar di Universitas Adh-Dhafiri di Kairo. Kemudian menjadi wali wilayah Dar Kamilah. Tetapi, kemudian beliau meninggalkan jabatan itu untuk menyebarkan ilmu selama dua puluh tahun.

Kelebihannya

Asy-Syarif ‘Izzuddin Al-Hafidh berkata,”Syaikh kita Zakiyyuddin jarang tandingannya dalam ilmu hadits dengan segala cabangnya. Pandai tentang matan hadits yangshahih, yang saqiim (sakit), dan yang cacat beserta jalan-jalannya. Mendalam dan luas ilmunya tentang hukum, makna-maknanya, dan permasalahan-permasalahannya. Sangan pandai tentang makna-makna hadits yang ganjil, I’rab-nya, dan lafal-lafalnya yang bermacam-macam. Mahir dalam mengetahui perawi-perawinya, celaan terhadap para perawi hadits, dan pujian terhadap mereka, kesempurnaan mereka, sejarah kelahiran mereka, serta informasi tentang mereka. Menjadi imam (pemuka, tokoh) yang argumentative, teguh pendirian, wara’, selektif dalam berkata-kata, dan mantap dalam meriwayatkan”.

Adz-Dzahabi berkata,”Pada jamannya, tidak ada orang yang lebih hafidh (hafal hadits) darinya”.

Informasi tentang Al-Mundziri

Ia memberi fatwa (mufti) di negeri Mesir. Tetapi, kemudian berhenti dari pekerjaan ini. Keberhentiannya dari tugas ini menguakkan informasi tentang kejujuran, kelapangan hati, dan pengakuannya terhadap suatu keutamaan bagi yang berwenang. Hal itu diisyaratkan oleh At-Taj As-Subki yang mengatakan,”Saya mendengar dari ayah (yaitu Taqiyyuddin As-Subki) menceritakan bahwa Syaikh ‘Izzuddin Abdus-Salam itu mendengar (belajar) hadits di Damaskus hanya sedikit. Tetapi, setelah datang ke Kairo, maka dia sering datang di majelis Syaikh Zakiyyuddin (yaitu Al-Mundziri) dan mendengar pelajarannya bersama sejumlah orang yang mendengarnya,. Syaikh Zakiyyuddin juga meninggalkan tugas memberi fatwa”. Ayah berkata,”Dimana datang Syaikh ‘Izzuddin, maka orang-orang tidak memerlukan aku lagi”.

Wafatnya

Imam Al-Mundziri rahimahullah wafat pada tanggal 4 Dzulqa’dah tahun 656 H.

–ooOoo–

Published in: on Oktober 4, 2007 at 5:15 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Syaikh Abdurahman Nashir As-Sa’diy (Wafat 1376 H)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah As-Sa’diy dilahirkan di kota Unaizah, Qasim, wilayah Najd, Kerajaan Saudi Arabia. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia saat usianya masih kecil, akan tetapi beliau memiliki kecerdasan yang luar biasa ditambah keinginannya yang sangat besar untuk menuntut ilmu. Mulai menghafal Al-Quran pada usia dini hingga diselesaikan dengan baik dan sempurna pada usia dua belas tahun, kemudian setelah itu dia mulai menuntut ilmu dan berguru kepada sejumlah ulama yang datang ke negerinya. Beliau benar-benar berjuang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on Oktober 4, 2007 at 4:11 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Syaikh Muhammad Aman Al-Jami (1349-1416 H)

Nama Dan Nasabnya

Beliau rahimahullah adalah Syaikh al-‘Allamah Abu Ahmad Muhammad Aman bin Ali Jami Ali.

Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 1349 H di desa Thagha Thab daerah Harar, Habasyah (Ethiopia), Afrika.

Pertumbuhan Ilmiah Dan Guru-Gurunya (lebih…)

Published in: on Oktober 4, 2007 at 4:00 am  Komentar Dinonaktifkan pada Syaikh Muhammad Aman Al-Jami (1349-1416 H)  

Syaikh Ahmad An-Najmi

ditulis oleh: As-Syaikh Muhammad bin Hadi bin Ali Al-Madkhali

Kedudukan ulama rabbani sangatlah tinggi dalam Dien yang mulia ini. Allah Ta’ala telah mengangkat derajat mereka dan memuji mereka dalam Tanzil-Nya. Demikian pula pujian datang lewat lisan Rasul-Nya dalam mutiara-mutiara hikmah yang beliau tuturkan. Dan tidak ada yang tahu kadar ulama dan memuliakannya sesuai dengan apa yang berhak mereka dapatkan kecuali orang-orang yang mulia. Karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang ingin mendapatkan kemuliaan untuk mengagungkan mereka lewat lisan dan tulisan, tidak melanggar kehormatan mereka dan tidak merendahkan mereka. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on Oktober 4, 2007 at 3:53 am  Komentar Dinonaktifkan pada Syaikh Ahmad An-Najmi  

Zainab binti Khuzaimah (wafat 1 H)

Nasab dan Masa Pertumbuhannya

Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bemama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah.

Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah. menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.

Keislaman dan Pernikahannya

Zainab binti Khuzaimah. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliah.

Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.

Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah . menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah- lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang miskin.

Meskipun Nabi. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah.

Menjadi Ummul-Mukminin

Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah ke dalam rumah tangga Nabi ., apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah . menikahinya karena kasih sayang terhadap umamya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak tendapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat kanena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya. Allahu A’lam.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Zainab binti Khuzaimah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Sumber: buku Dzaujatur-Rasulullah , karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh

Hidupnya bersama RasuluLlah, hanya singkat. Antara 4 sampai 8 bulan. Zainab terkenal dengan julukan Ummul Masaakiin, karena kedermawanannya terhadap kaum miskin. Zainab meninggal, ketika Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sendiri menshalati jenazahnya. Zainablah yang pertama kali dimakamkan di Baqi.

–ooOoo–

Published in: on Oktober 4, 2007 at 1:54 am  Komentar Dinonaktifkan pada Zainab binti Khuzaimah (wafat 1 H)