Para Ulama Ahlul Hadits

بسم الله الرحمن الرحيم

Biografi para ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :

1. Khalifah ar-Rasyidin :
Abu Bakr Ash-Shiddiq
Umar bin Al-Khaththab
Utsman bin Affan
Ali bin Abi Thalib

2. Al-Abadillah :
Ibnu Umar
Ibnu Abbas
Ibnu Az-Zubair
Ibnu Amr
Ibnu Mas’ud
Aisyah binti Abubakar
Ummu Salamah
Zainab bint Jahsy
Anas bin Malik
Zaid bin Tsabit
Abu Hurairah
Jabir bin Abdillah
Abu Sa’id Al-Khudri
Mu’adz bin Jabal
Abu Dzarr al-Ghifari
Sa’ad bin Abi Waqqash
Abu Darda’

3. Para Tabi’in :
Sa’id bin Al-Musayyab wafat 90 H
Urwah bin Zubair wafat 99 H
Sa’id bin Jubair wafat 95 H
Ali bin Al-Husain Zainal Abidin wafat 93 H
Muhammad bin Al-Hanafiyah wafat 80 H
Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud wafat 94 H
Salim bin Abdullah bin Umar wafat 106 H
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash Shiddiq
Al-Hasan Al-Bashri wafat 110 H
Muhammad bin Sirin wafat 110 H
Umar bin Abdul Aziz wafat 101 H
Nafi’ bin Hurmuz wafat 117 H
Muhammad bin Syihab Az-Zuhri wafat 125 H
Ikrimah wafat 105 H
Asy Sya’by wafat 104 H
Ibrahim an-Nakha’iy wafat 96 H
Aqamah wafat 62 H

4. Para Tabi’ut tabi’in :
Malik bin Anas wafat 179 H
Al-Auza’i wafat 157 H
Sufyan bin Said Ats-Tsauri wafat 161 H
Sufyan bin Uyainah wafat 193 H
Al-Laits bin Sa’ad wafat 175 H
Syu’bah ibn A-Hajjaj wafat 160 H
Abu Hanifah An-Nu’man wafat 150 H

5. Atba’ Tabi’it Tabi’in : Setelah para tabi’ut tabi’in:
Abdullah bin Al-Mubarak wafat 181 H
Waki’ bin Al-Jarrah wafat 197 H
Abdurrahman bin Mahdy wafat 198 H
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan wafat 198 H
Imam Syafi’i wafat 204 H

6. Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in :
Ahmad bin Hambal wafat 241 H
Yahya bin Ma’in wafat 233 H
Ali bin Al-Madini wafat 234 H
Abu Bakar bin Abi Syaibah Wafat 235 H
Ibnu Rahawaih Wafat 238 H
Ibnu Qutaibah Wafat 236 H

7. Kemudian murid-muridnya seperti:
Al-Bukhari wafat 256 H
Muslim wafat 271 H
Ibnu Majah wafat 273 H
Abu Hatim wafat 277 H
Abu Zur’ah wafat 264 H
Abu Dawud : wafat 275 H
At-Tirmidzi wafat 279
An Nasa’i wafat 234 H

8. Generasi berikutnya : orang-orang generasi berikutnya yang berjalan di jalan mereka adalah:
Ibnu Jarir ath Thabary wafat 310 H
Ibnu Khuzaimah wafat 311 H
Muhammad Ibn Sa’ad wafat 230 H
Ad-Daruquthni wafat 385 H
Ath-Thahawi wafat 321 H
Al-Ajurri wafat 360 H
Ibnu Hibban wafat 342 H
Ath Thabarany wafat 360 H
Al-Hakim An-Naisaburi wafat 405 H
Al-Lalika’i wafat 416 H
Al-Baihaqi wafat 458 H
Al-Khathib Al-Baghdadi wafat 463 H
Ibnu Qudamah Al Maqdisi wafat 620 H

9. Murid-Murid Mereka :
Ibnu Daqiq Al-led wafat 702 H
Ibnu Taimiyah wafat 728 H
Al-Mizzi wafat 742 H
Imam Adz-Dzahabi (wafat 748 H)
Imam Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah (wafat 751 H)
Ibnu Katsir wafat 774 H
Asy-Syathibi wafat 790 H
Ibnu Rajab wafat 795 H

10. Ulama Generasi Akhir :
Ash-Shan’ani wafat 1182 H
Muhammad bin Abdul Wahhab wafat 1206 H
Muhammad Shiddiq Hasan Khan wafat 1307 H
Al-Mubarakfuri wafat 1427 H
Abdurrahman As-Sa`di wafat 1367 H
Ahmad Syakir wafat 1377 H
Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh wafat 1389 H
Muhammad Amin Asy-Syinqithi wafat 1393 H
Muhammad Nashiruddin Al-Albani wafat 1420 H
Abdul Aziz bin Abdillah Baz wafat 1420 H
Hammad Al-Anshari wafat 1418 H
Hamud At-Tuwaijiri wafat 1413 H
Muhammad Al-Jami wafat 1416 H
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin wafat 1423 H
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i wafat 1423 H
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah
Abdul Muhsin Al-Abbad hafidhahullah
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah

Sumber: Makanatu Ahli Hadits karya Asy-Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali dan Wujub Irtibath bi Ulama dengan sedikit tambahan.

Iklan
Published in: on Oktober 30, 2007 at 7:07 am  Komentar Dinonaktifkan pada Para Ulama Ahlul Hadits  

Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu’anhu

Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on Oktober 4, 2007 at 6:39 am  Komentar Dinonaktifkan pada Abu Dzar Al Ghifari radhiyallahu’anhu  

Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah

Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan.Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.

Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah. Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Al Hadid: 16)

Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”

Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan makanan beliau dan keluarganya.

Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.

Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.

Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H.

Sumber: Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh 5-7

Published in: on Oktober 4, 2007 at 6:35 am  Komentar Dinonaktifkan pada Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah  

Al-Hafidh Al-Mundziri (581- 656 H)

Kelahirannya

Ia adalah seorang hafidh yang besar, Zakiyyuddin Abdul ‘Adhim bin Abdul-Qawiy bin Abdullah bin Salamah Abu Muhammad Al-Mundziri, berasal dari Damaskus, namun dilahirkan dan wafat di Mesir. Ia dilahirkan pada tahun 581 H.

Guru-Gurunya

Ia belajar Al-Qur’an dan mendalaminya. Kemudian belajar ilmu hadits hingga mahir. Ia mendengar hadits dari sejumlah ulama’ hadits, seperti Abul-Hasan Ali bin Mufadldlal Al-Muqaddasi. Ia berguru kepadanya hingga tamat. Di Madinah kota Nabi, ia berguru kepada Al-Hafidh Ja’far bin Umusan. Di Damaskus, ia berguru pada ‘Umar bin Thabrazad. Ia juga berguru ke Najran. Iskandariyah, Raha, dan Baitul-Maqdis. Ia mulai berguru pada tahun 591 H ketika berusia sepuluh tahun.

Murid-Muridnya

Sejumlah ulama yang pernah belajar hadits padanya antara lain Al-Hafidh Ad-Dimyathi yang berguru sampai tamat, Al-‘Allamah Taqiyyuddin Ibnu Daqqiiqil-‘Ied, Al-Yunaini Abul-Husain, Ismail bin Asakir, dan Syarif ‘Izzudin.

Ia mengajar di Universitas Adh-Dhafiri di Kairo. Kemudian menjadi wali wilayah Dar Kamilah. Tetapi, kemudian beliau meninggalkan jabatan itu untuk menyebarkan ilmu selama dua puluh tahun.

Kelebihannya

Asy-Syarif ‘Izzuddin Al-Hafidh berkata,”Syaikh kita Zakiyyuddin jarang tandingannya dalam ilmu hadits dengan segala cabangnya. Pandai tentang matan hadits yangshahih, yang saqiim (sakit), dan yang cacat beserta jalan-jalannya. Mendalam dan luas ilmunya tentang hukum, makna-maknanya, dan permasalahan-permasalahannya. Sangan pandai tentang makna-makna hadits yang ganjil, I’rab-nya, dan lafal-lafalnya yang bermacam-macam. Mahir dalam mengetahui perawi-perawinya, celaan terhadap para perawi hadits, dan pujian terhadap mereka, kesempurnaan mereka, sejarah kelahiran mereka, serta informasi tentang mereka. Menjadi imam (pemuka, tokoh) yang argumentative, teguh pendirian, wara’, selektif dalam berkata-kata, dan mantap dalam meriwayatkan”.

Adz-Dzahabi berkata,”Pada jamannya, tidak ada orang yang lebih hafidh (hafal hadits) darinya”.

Informasi tentang Al-Mundziri

Ia memberi fatwa (mufti) di negeri Mesir. Tetapi, kemudian berhenti dari pekerjaan ini. Keberhentiannya dari tugas ini menguakkan informasi tentang kejujuran, kelapangan hati, dan pengakuannya terhadap suatu keutamaan bagi yang berwenang. Hal itu diisyaratkan oleh At-Taj As-Subki yang mengatakan,”Saya mendengar dari ayah (yaitu Taqiyyuddin As-Subki) menceritakan bahwa Syaikh ‘Izzuddin Abdus-Salam itu mendengar (belajar) hadits di Damaskus hanya sedikit. Tetapi, setelah datang ke Kairo, maka dia sering datang di majelis Syaikh Zakiyyuddin (yaitu Al-Mundziri) dan mendengar pelajarannya bersama sejumlah orang yang mendengarnya,. Syaikh Zakiyyuddin juga meninggalkan tugas memberi fatwa”. Ayah berkata,”Dimana datang Syaikh ‘Izzuddin, maka orang-orang tidak memerlukan aku lagi”.

Wafatnya

Imam Al-Mundziri rahimahullah wafat pada tanggal 4 Dzulqa’dah tahun 656 H.

–ooOoo–

Published in: on Oktober 4, 2007 at 5:15 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Syaikh Abdurahman Nashir As-Sa’diy (Wafat 1376 H)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah As-Sa’diy dilahirkan di kota Unaizah, Qasim, wilayah Najd, Kerajaan Saudi Arabia. Kedua orang tuanya sudah meninggal dunia saat usianya masih kecil, akan tetapi beliau memiliki kecerdasan yang luar biasa ditambah keinginannya yang sangat besar untuk menuntut ilmu. Mulai menghafal Al-Quran pada usia dini hingga diselesaikan dengan baik dan sempurna pada usia dua belas tahun, kemudian setelah itu dia mulai menuntut ilmu dan berguru kepada sejumlah ulama yang datang ke negerinya. Beliau benar-benar berjuang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on Oktober 4, 2007 at 4:11 am  Tinggalkan sebuah Komentar  

Syaikh Muhammad Aman Al-Jami (1349-1416 H)

Nama Dan Nasabnya

Beliau rahimahullah adalah Syaikh al-‘Allamah Abu Ahmad Muhammad Aman bin Ali Jami Ali.

Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 1349 H di desa Thagha Thab daerah Harar, Habasyah (Ethiopia), Afrika.

Pertumbuhan Ilmiah Dan Guru-Gurunya (lebih…)

Published in: on Oktober 4, 2007 at 4:00 am  Komentar Dinonaktifkan pada Syaikh Muhammad Aman Al-Jami (1349-1416 H)  

Syaikh Ahmad An-Najmi

ditulis oleh: As-Syaikh Muhammad bin Hadi bin Ali Al-Madkhali

Kedudukan ulama rabbani sangatlah tinggi dalam Dien yang mulia ini. Allah Ta’ala telah mengangkat derajat mereka dan memuji mereka dalam Tanzil-Nya. Demikian pula pujian datang lewat lisan Rasul-Nya dalam mutiara-mutiara hikmah yang beliau tuturkan. Dan tidak ada yang tahu kadar ulama dan memuliakannya sesuai dengan apa yang berhak mereka dapatkan kecuali orang-orang yang mulia. Karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang ingin mendapatkan kemuliaan untuk mengagungkan mereka lewat lisan dan tulisan, tidak melanggar kehormatan mereka dan tidak merendahkan mereka. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on Oktober 4, 2007 at 3:53 am  Komentar Dinonaktifkan pada Syaikh Ahmad An-Najmi  

Al-Imam as-Suyuthi (849-911 H)

Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Saabiquddien bin al-Fakhr Utsman bin Nashiruddien Muhammad bin Saifuddin Khadhari bin Najmuddien Abi ash-Shalaah Ayub ibn Nashiruddien Muhammad bin asy-Syaich Hammamuddien al-Hamman al-Khadlari al-Asyuuthi. Lahir ba’da Maghrib, hari Ahad malam, bulan Rajab tahun 849 Hijriyah, yakni enam tahun sebelum bapaknya wafat.

Asal Usul Beliau

Jalaluddien as-Suyuthi berasal dari lingkungan cendekiawan sejak kecilnya. Bapaknya berusaha mengarahkannya ke arah kelurusan dan keshalihan. Adalah beliau hafal al-Qur’an di usianya yang sangat dini dan selalu diikutkan bapaknya di berbagai majlis ilmu dan berbagai majlis qadhinya.

Dan bapaknya telah memintakan kepada Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani supaya mendo’akannya diberi berkah dan taufiq. Dan adalah bapaknya melihat dalam diri anaknya seperti yang didapati dalam diri Ibnu Hajar, hingga ketika beliau minum, sebagian diberikan kepada anaknya dan mendo’akannya agar ia seperti Ibnu Hajar, menjadi ulama yang trampil dan tokoh penghafal (hadits). Bapaknya wafat saat ia (imam Suyuthi) baru berumur lima tahun tujuh bulan. Tetapi Allah telah memeliharanya dengan taufiq dari-Nya dan mengasuhnya dengan asuhan-Nya. Ini terbukti dengan telah ditakdirkan Allah Ta’ala untuknya al-‘Allamah Kamaaluddien bin Humam al-Hanafi pengarang Fathul Qadir untuk menjadi guru asuhnya. Hingga hafal al-Qur’an dalam umur delapan tahun, kemudian menghafal kitab al-’Umdah lalu Minhajul Fiqhi dan Ushul, serta Alfiyah Ibnu Malik. Dan mulai menyibukkan diri dengan (menggeluti) ilmu pada tahun 864 H, yakni ketika berumur 15 tahun.

Menimba ilmu Fiqih dari Syaikh Siraajuddien al-Balqini. Bahkan mulazamah kepada beliau hingga wafatnya. Kemudian mulazamah kepada anak beliau, dan menyimak banyak pelajaran darinya seperti al-Haawi ash-Shaghir, al-Minhaaj, syarah al-Minhaaj dan ar-Raudhah. Belajar Faraidl dari syaikh Sihaabuddien Asy-Syaarmasaahi, dan mulazamah kepada asy-Syari al-Manaawi Abaaz Kuriya Yahya bin Muhammad, kakak dari Abdurrauf pensyarah al-Jami’ ash-Shaghir. Kemudian menimba ilmu bahasa Arab dan ilmu Hadits kepada Taqiyuddien asy-Syamini al-Hanafi (872 H). Lalu mulazamah kepada syaikh Muhyiddien Muhammad bin Sulaiman ar-Ruumi al-Hanafi selama 14 tahun. Dari beliau ia menimba ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu bahasa Arab dan ilmu Ma’ani. Juga berguru kepada Jalaaluddien al-Mahilli (864 H) dan ‘Izzul Kinaani Ahmad bin Ibrahim al-Hanbali. Dan membaca shahih Muslim, asy-Syifa, Alfiyah Ibnu malik dan penjelasaannya pada Syamsu as-Sairaami.

Imam Suyuthi tidak mau meninggalkan satu cabang ilmu pun kecuali ia berusaha untuk mempelajarinya, seperti ilmu hitung dan ilmu faraidl dari Majid bin as-Sibaa’ dan Abudl Aziz al-Waqaai, serta ilmu kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim ad-Diwwani ar-Ruumi. Hal ini sesuai dan didukung oleh keadaan waktu itu di mana dia dapat menimba ilmu dari banyak syaikh. Ia tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya, baik ilmu bahasa maupun ilmu dien, demikian pula ia tidak merasa cukup dengan para ulama yang telah ia temui.

Bahkan ia bepergian jauh sekedar untuk mencari ilmu dan riwayat hadits, hingga ke negeri Maghribi (Tanjung Harapan, sebelah ujuh barat pulau Afrika), ke Yaman, India, Syam Mahallah (di Mesir Barat), Diimath (sebuah kota di tepi sungai Nil, Mesir), dan Fayyum (Mesir) serta negeri-negeri Islam lainnya. Telah menunaikan ibadah Hajji dan telah minum air Zam-zam dengan harapan supaya dapat seperti Syaich al-Balqini dalam menguasi ilmu Fiqih serta dapat seperti Ibnu Hajar dalam menguasai ilmu Hadits.

Demikianlah imam yang mulia ini, mengadakan perjalanan yang tidak tanggung-tanggung dengan segala kesusahannya hanya untuk dapat menimba ilmu. Banyak sekali gurunya. Bahkan disebutkan oleh syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab Thabaqat bahwa gurunya lebih dari 600-an orang.

Sesuai dengan banyaknya syaikh dan jauhnya perjalanannya dalam menimba ilmu, hal itu didukung pula oleh kemampuannya untuk semaksimal mungkin dalam memanfaatkan perpustakaan Madrasah Mahmudiyah. Berkata al-Maqrizi, bahwa di dalam perpustakaan ini terdapat segala jenis kitab-kitab Islam, dan madrasah ini merupakan sebaik-baik madrasah yang ada, yang dinisbatkan kepada Mahmud bin al-Astadaar, yang berdirinya pada tahun 897 H. Dan kitab-kitab yang ada tersebut merupakan kitab yang paling lengkap dari yang ada sekarang di Qahirah (Cairo), yang merupakan koleksi dari Burhan Ibn Jama’ah dan kemudian dibeli oleh Mahmud al-Astadaar dengan uang warisannya setelah ia wafat dan kemudian ia waqafkan.

Hingga matanglah kepribadian Suyuthi, dan sempurnalah pembentukan ilmunya pada taraf syarat mampu untuk berijtihad. Beliau seorang yang mudah mengerti, kuat hafalannya, dianugerahi Allah dengan otak yang cerdas, disamping itu beliau adalah seorang yang ‘abid (ahli ibadah), zuhud, tawadlu’. Tidak mau menerima hadiah raja. Pernah ia diberi hadiah raja Ghuuri seorang budak perempuan dan uang banyak sebesar seribu dinar. Maka dikembalikannya uang itu sedangkan budak perempuan itu dimerdekakannya dan menjadikannya sebagai pelayan di hujrah Nabawi. Lalu ia berkata kepada sang penguasa itu, “Jangan berusaha memalingkan hanya dengan memberi hadiah semacam itu karena Allah telah menjadikan aku merasa tidak butuh dari hal-hal semacam itu.”

Oleh karena itu beliau rahimahullah dikenal sebagai seorang yang berani tapi beradab, semangat dalam menegakkan hukum-hukum syari’at dan mengamalkannya tanpa memihak kepada seorang pun. Tidak takut dalam kebenaran celaan orang yang mencela. Ia telah diminta untuk memberikan fatwa serta urusan-urusan yang bersangkutan dengan kehakiman, maka beliau tetap berusaha untuk adil dan menerapkan hukum-hukum dien tanpa memperdulikan kemarahan Umara’ maupun penguasa. Bahkan jika ia melihat ada Qadhi (hakim) yang menta’wilkan hukum sesuai dengan kehendak penguasa, bertujuan menjilat mereka maka beliau menentangnya dan menyatakan pengingkarannya serta cuci tangan darinya. Menerangkan kesalahannya, dan meluruskannya, seperti yang dikemukakannya dalam kitab “al-Istinshaar bil Wahid al-Qahhar.” Beliau terlalu disibukkan dengan memberi pelajaran dan berfatwa sampai umur 40 tahun, kemudian beliau lebih mengkhususkan untuk beribadah dan mengarang kitab. Dan karangan imam Suyuthi rahimahullah lebih dari 500 buah karangan. Berkata imam Suyuthi, “Kalau seandainya aku mau maka aku mampu untuk menyusun kitab yang membahas setiap masalah dengan segala teori dan dalil-dalil yang kami nukil, qiyasnya, keterangannya, bantahan-bantahannya, jawaban-jawabannya, muwazanahnya antara perselisihan berbagai madzhab tentang masalah itu, dengan fadhilah Allah, tidak dengan daya dan kemampuanku. Karena sesungguhnya tidak ada kekuatan kecuali dari Allah.”

Kitab-Kitabnya

Adapun kitab-kitab yang disusun oleh imam Suyuthi rahimahullah antara lain sebagai berikut:

1. Al-Itqaan fi ‘Uluumil Qur’an
2. Ad-Durrul Mantsuur fit Tafsiril Ma’tsuur
3. Tarjumaan al-Qur’an fit Tafsir
4. Israaru at-Tanziil atau dinamakan pula dengan Qathful Azhaar fi Kasyfil Asraar
5. Lubaab an-Nuqul fi Asbaabi an-Nuzuul
6. Mifhamaat al-Aqraan fi Mubhamaat al-Qur’an
7. Al-Muhadzdzab fiima waqa’a fil Qur’an minal Mu’arrab
8. Al-Ikllil fi istimbaath at-Tanziil
9. Takmilatu Tafsiir asy-Sayich Jalaaluddien al-Mahilli
10. At-Tahiir fi ‘Uluumi Tafsir
11. Haasyiyah ‘ala Tafsiri al-Baidlawi
12. Tanaasuq ad-Duraru fi Tanaasub as-Suwari
13. Maraashid al-Mathaali fi Tanaasub al-Maqaathi’ wal Mathaali’
14. Majma’u al-Bahrain wa Mathaali’u al-Badrain fi at-Tafsir.
15. Mafaatihu al Ghaib fi at-Tafsiir
16. Al-Azhaar al-Faaihah ‘alal Fatihah
17. Syarh al-Isti’adzah wal Kasmalah
18. Al-Kalaam ‘ala Awalil Fathi
19. Syarh asy-Syathibiyah
20. Al-Alfiyah fil Qara’at al ‘asyri
21. Khimaayal az-Zuhri fi Fadla’il as-Suwari
22. Fathul Jalil li ‘Abdi Adz Dzalil fil Anwa’il Badi’ah al- Mustakhrijah min Qaulihi Ta’ala: Allaahu Waliyyulladziina aamanu
23. al-Qaul al-Fashih Fi Ta’yiini adz-Dzabiih
24. al-Yadul Bustha fi as-Shalaatil Wustha
25. Mu’tarakul Aqraan Fi musykilaatil Qur’an

Semua itu judul-judul buku yang berkenaan dengan Tafsir, adapun yang berkenaan dengan ilmu hadits, antara lain adalah sebagai berikut:

. ‘Ainul Ishaabah Fi Ma’rifati ash-Shahaabah
2. Durru ash-Shahaabah Fi man Dakhala Mishra Minash Shahaabah
3. Husnul Muhaadlarah
4. Riihu an-Nisriin Fi man ‘Aasya Minash Shahaabah Mi ata Wa ‘isyriin
5. Is’aaful Mubtha’ bi Rijaalil Muwaththa’
6. Kasyfu at-Talbiis ‘an Qalbi Ahli Tadliis
7. Taqriibul Ghariib
8. al-Madraj Ila al-Mudraj
9. Tadzkirah al-Mu’tasi Min Hadits Man haddatsa wa nasiy
10. Asmaa`ul Mudallisiin
11. al-Luma’ Fi Asmaa`i Man Wadla’
12. ar-Raudlul Mukallal Wa Waradul Mu’allal fi al-mushthalah

Wafatnya

Imam as-Suyuthi rahimahullah wafat pada hari Jum’at, malam tanggal 19 Jumadal Ula tahun 911 H. Sebelumnya beliau menderita sakit selama tujuh hari dan akhirnya wafat dalam umur 61 tahun. Dikuburkan di pemakaman Qaushuun atau Qaisun di Cairo.

Sumber dari : Kitab adriib ar-Raawi Fi Syarh Taqriib an-Nawawy karya as-Suyuthy.

Published in: on Oktober 2, 2007 at 8:33 am  Komentar Dinonaktifkan pada Al-Imam as-Suyuthi (849-911 H)  

Ibnu Zubair (Abdullah bin Zubair) 94 H

Seorang pemimpin masa Khalifah Ali bin Abi Talib dan awal khilafah Bani Umayyah. Dia adalah bayi pertama yang lahir dikalangan Muhajirin di Madinah. Ayahnya bernama Zubair Awwam dan ibunya, Asma binti Abu Bakar as-Siddiq. Ia sepupu dan juga kemenakan Nabi Muhammad dari istrinya, Aisyah binti Abu Bakar. Ia termasuk salah seorang dari “Empat ‘Ibadillah” (empat orang yang bernama Abdullah) dari 30 orang lebih sahabat Nabi yang dikenal menghafal seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, Tiga orang ‘Ibadillah lainnya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan Abdullah bin Amr bin As. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on Oktober 2, 2007 at 8:29 am  Komentar Dinonaktifkan pada Ibnu Zubair (Abdullah bin Zubair) 94 H  

Abu Bakr Ash-Shiddiiq (11-13 H)

masih di edit…

Published in: on Oktober 2, 2007 at 7:37 am  Komentar Dinonaktifkan pada Abu Bakr Ash-Shiddiiq (11-13 H)