Imam Al Baihaqi (wafat 458 H)

Nama lengkapnya adalah Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein ibn Ali ibn Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak buku terkenal.

Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai negara, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab “Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari”, Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.

Para ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.

As-Sabki menyatakan: “Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai ‘Tali Allah’ dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal hadits.”

Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya “Thail Tareekh Naisabouri”: Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.

Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan mengenai buku ‘Al Ma’rifa’. Banyak imam terkemuka turut hadir.

Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum Muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan mereka.

Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian.

Sementara itu, dalam Wafiyatul A’yam, Ibnu Khalkan menulis, “Dia hidup zuhud, banyak beribadah, wara’, dan mencontoh para salafus shalih.”

Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi populer sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.

Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.

Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.

Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tarmizi, Nasa’i, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.

Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran : rangkaian perawi hadits).

Di antara larya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat penghargaan tertinggi.

Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya.

Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya.

Itulah di antara sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun tidak usai-usai juga dikaji orang.

Imam terkemuka ini meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.

Sejumlah buku penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku “As-Sunnan Al Kubra”, “Sheub Al Iman”, “Tha La’il An Nabuwwa”, “Al Asma wa As Sifat”, dan “Ma’rifat As Sunnan cal Al Athaar”.

–ooOoo–

Iklan
Published in: on September 29, 2007 at 9:03 am  Komentar Dinonaktifkan pada Imam Al Baihaqi (wafat 458 H)  

Imam Muslim (206-261 H)

Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Sahih (terkenal dengan Sahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang sahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya ‘Ulama’ul Amsar.*

Kehidupan untuk Mencari Ilmu

Ia belajar hadits sejak masih dalam usia dini, yaitu mulaii tahun 218 H. Ia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara negara lainnya.

Dalam perjalannanya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan kepada ulama ahli hadits yang lain.

Muslim berkali-kali mengunjungi Baghdad untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits, dan kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering datang kepadanya untuk berguru, sebab ia mengetahui jasa dan ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli, ia bergabung kepada Bukhari, sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan dengan Az-Zihli. Muslim dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya, tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya, yang diterimanya dari Bukhari, padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim, yang lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu, dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.

Guru-gurunya

Selain yang telah disebutkan di atas, Muslim masih mempunyai banyak ulama
yang menjadi gurunya. Di antaranya : Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah; Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ayli, Qutaibah bin Sa’id dan lain sebagainya.

Keahlian dalam Hadits

Apabila Imam Bukhari merupakan ulama terkemuka di bidang hadits sahih, berpengetahuan luas mengenai ilat-ilat dan seluk beluk hadits, serta tajam kritiknya, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Imam Bukhari, baik dalam ilmu dan pengetahuannya maupun dalam keutamaan dan kedudukannya.

Imam Muslim banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama ahli hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi berketa, “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, memperhatikan ilmunya dan menempuh jalan yang dilaluinya.” Pernyataan ini tidak berarti bahwa Muslim hanyalah seorang pengekor. Sebab, ia mempunyai cirri khas dan karakteristik tersendiri dalam menyusun kitab, serta metode baru yang belum pernah diperkenalkan orang sebelumnya.

Abu Quraisy al-Hafiz menyatakan bahwa di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Muslim (Tazkiratul Huffaz, jilid 2, hal. 150). Maksud perkataan tersebut adalah ahli ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy, sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.

Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya :
1. Al-Jami’ as-Sahih (Sahih Muslim).
2. Al-Musnadul Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits).
3. Kitabul-Asma’ wal-Kuna.
4. Kitab al-’Ilal.
5. Kitabul-Aqran.
6. Kitabu Su’alatihi Ahmad bin Hambal.
7. Kitabul-Intifa’ bi Uhubis-Siba’.
8. Kitabul-Muhadramin.
9. Kitabu man Laisa lahu illa Rawin Wahid.
10. Kitab Auladis-Sahabah.
11. Kitab Awhamil-Muhadditsin.

Kitab Sahih Muslim

Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al Jami’ as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah. Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.

Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya.

Bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu ialah suatu kenyataan, di mana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata: “Aku susun kitab Sahih ini yang disaring dari 300.000 hadits.”

Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Sahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 buah hadits.”

Dalam pada itu, Ibn Salah menyebutkan dari Abi Quraisy al-Hafiz, bahwa jumlah hadits Sahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan, yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang.

Imam Muslim berkata di dalam Sahihnya: “Tidak setiap hadits yang sahih menurutku, aku cantumkan di sini, yakni dalam Sahihnya. Aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits.” .

Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembira atas karunia Tuhan yang diterimanya: “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar kitab musnad ini.”

Ketelitian dan kehati-hatian Muslim terhadap hadits yang diriwayatkan dalam Sahihnya dapat dilihat dari perkataannya sebagai berikut : “Tidaklah aku mencantumkan sesuatu hadits dalam kitabku ini, melainkan dengan alasan; juga tiada aku menggugurkan sesuatu hadits daripadanya melainkan dengan alasan pula.

Imam Muslim di dalam penulisan Sahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah Sahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.

Imam Muslim wafat pada ahad sore, dan dikebumikan di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur, pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun.

Disalin dari biografi Imam Muslim dalam Kutubus Sittah Abu Syuhbah 59

Published in: on September 29, 2007 at 8:37 am  Komentar Dinonaktifkan pada Imam Muslim (206-261 H)  

Imam At-Tirmidzi (209-279 H)

Nama lengkapnya adalah Imam al-Hafidz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak As-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.

Perkembangan dan Perjalanannya

Kakek Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana. Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.

Setelah menjalani perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah akhirnya at-Tirmidzi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.

Guru-gurunya

Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmidzi belajar pula hadits dari sebagian guru mereka.

Guru lainnya ialah Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin ‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin al-Musanna dan lain-lain.

Murid-muridnya

Hadits-hadits dan ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.

Kekuatan Hafalannya

Abu ‘Isa aat-Tirmidzi diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti. Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin ‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:

“Saya mendengar Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya menemuinya. Saya mengira bahwa “dua jilid kitab” itu ada padaku. Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib, lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.”

Pandangan Para Kritikus Hadits Terhadapnya

Para ulama besar telah memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolangkan Tirmidzi ke dalam kelompok “Siqat” atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh hafalannya, dan berkata: “Tirmidzi adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah (berdiskusi) dengan para ulama.”Abu Ya’la al-Khalili dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi adalah seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama. Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang hadits yang sangat mendalam.

Fiqh Tirmidzi dan Ijtihadnya

Imam Tirmidzi, di samping dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih. Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Salah satu contoh ialah penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, bersabda: ‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.” Imam Tirmidzi memberikan penjelasan sebagai berikut: Sebagian ahli ilmu berkata: ” apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.” Diktum ini adalah pendapat Syafi’i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian ahli ilmu yang lain berkata: “Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang pertama (muhil).” Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan lainnya, yang menegaskan: “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim.” Menurut Ishak, maka perkataan “Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim” ini adalah “Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu.”

Itulah salah satu contoh yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmidzi dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.

Karya-karyanya

Imam Tirmidzi banyak menulis kitab-kitab. Di antaranya: 1. Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmidzi. 2. Kitab Al-‘Ilal. 3. Kitab At-Tarikh. 4. Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah. 5. Kitab Az-Zuhd. 6. Kitab Al-Asma’ wal-kuna. Di antara kitab-kitab tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.

Sekilas tentang Al-Jami’

Kitab ini adalah salah satu kitab karya Imam Tirmidzi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ Tirmidzi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama Sunan Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang popular.

Sebagian ulama tidak berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka menamakannya dengan Sahih Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat dan terlalu gegabah.

Setelah selesai menyususn kitab ini, Tirmidzi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: “Setelah selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah tersebut ada Nabi yang selalu berbicara.”

Imam Tirmidzi di dalam Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.

Dalam pada itu, ia tidak meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.

Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata: “Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menjamak shalat Zuhur dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab “takut” dan “dalam perjalanan.”

“Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadits ini adalah mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai shalat jamak dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli hadits juga Ibnu Munzir.

Hadits-hadits da’if dan munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan) hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits-hadits tentang halal dan haram.

Disalin dari Biografi Tirmidzi dalam Kutubus Sittah;Abu Syuhbah no.83

 

Published in: on September 29, 2007 at 8:27 am  Komentar Dinonaktifkan pada Imam At-Tirmidzi (209-279 H)  

Aisyah Binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anha

Aisyah adalah istri Nabi Shallalahu ‘alaihi Wassalam putri Abu Bakar ash-Shiddiq teman dan orang yang paling dikasihi Nabi, Aisyah masuk Islam ketika masih kecil sesudah 18 orang yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam memperistrinya pada tahu 2 H.

Beliau mempelajari bahasa, Syair, ilmu kedokteran, nasab nasab dan hari hari Arab . Berkata Az-Zuhri “ Andaikata ilmu yang dikuasai Aisyah dibandingkan dengan yang dimiliki semua istri Nabi Shallallahu ’alaihi Wassalam dan ilmu seluruh wanita niscaya ilmu Aisyah yang lebih utama”. Urwah mengatakan “ aku tidak pernah melihat seorangpun yang mengerti ilmu kedokteran, syair dan fiqh melebihi Aisyah”.

Aisyah meriwayatkan 2.210 hadits, diantara keistimewaannya beliau sendiri kadang kadang mengeluarkan beberapa masalah dari sumbernya, berijtihad secara khusus, lalu mencocokannya dengan pendapat pada sahabat yang alim. Berkenaan dengan keahlian Aisyah, Az-Zarkasyi mengarang sebuah kitab khusus berjudul Al-Ijabah li Iradi mastadrakathu Aisyah ‘ala ash Shahabah.

Hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menyatakan bahwa beliau bersabda “ Ambillah separuh agama kalian dari istriku yang putih ini “, Sesungguhnya hadist ini tidak bersanad. Ibnu Hajar. Al-Mizzi, Adz Dzahabi dan Ibnu Katsir menandaskan bahwa hadist itu dusta dan dibuat buat.

Aisyah meriwayatkan hadits dari ayahnya Abu Bakar, dari Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Usaid bin Khudlair dan lain lain. Sedangkan sahabat yang meriwayatkan dari beliau ialah Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Khalid al-Juhniy, Syafiyah binti Syabah dan beberapa yang lain. Tabi’in yang mengutip beliau ialah: Sa’id bin al-Musayyab, alqamah bin Qais, Masruq bin al-Ajda, Aisyah binti Thalhal, Amran binti Abdirrahman, dan Hafshah binti Sirin. Ketiga wanita yang disebutkan terakhir adalah murid murid Aisyah yang utama Ilmu Fiqh.

Sanad yang paling shahih adalah yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id dan Ubaidullah bin Umar bin Hafshin, dari Al Qasim bin Muhammad, dari Aisyah. Juga diriwayatkan oleh az-Zuhri atau Hisyam bin Urwah, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah. Yang paling Dlaif adalah yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Syabl, dari Umm an Nu’man dari Aisyah.

Aisyah wafat pada 57 H, dan Abu Hurairah ikut mensholatkannya.

Disalin dari Biografi Sayyidah Aisyah dalam Al-Ishabah, kitab an-Nis no 701; Thabaqat Ibn Sa’ad 8/39

Published in: on September 29, 2007 at 5:13 am  Komentar Dinonaktifkan pada Aisyah Binti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anha  

Urwah bin Az-Zubair (Wafat 94 H)

Nama sebenarnya adalah Abu Muhammad Urwah bin Zubair bin al-Awwam al-Quraisy. Beliau adalah salah seorang tabi’in besar dan salah seorang penghapal hadits yang sangat baik.

Ia menerima hadits dari ayahnya sendiri az-Zubair, dari saudaranya Abdullah dari ibunya ‘Asma binti Abu Bakar as-Shiddiq, dari saudara ibunya Aisyah, dari Said bin Zaid Hakim bin Hizam, dari Abu Hurairah dan dari yang lainnya.

Hadist haditsnya diriwayatkan oleh Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, Abu Salamahbin Abdurahman, az-Zuhry, Umar bin Abdul Aziz, dan lima orang anaknya yaitu Hisyam, Muhammad, Yahya, Abdullah dan Utsman.

Ia dikenal orang yang tsiqah dan kuat hapalannya, Ibnu Syihab az-Zuhry berkata,” Demi Allah, kami hanya mempelajari 1 suku hadits dari 2000 suku hadits”.

Sedangkan Muhammad bin Sa’ad berkata,” Orang yang paling mengetahui tentang hadits hadits Aisyah ada 3 orang yaitu : al-Qasim, ‘Urwah dan ‘Amrah”.

Ia wafat pada tahun 94 H

Disalin dari Biografi ‘Urwah bin Zubair dalam dalam Tarikh al-khulafa, Tahdzibul Asma An-Nawawi, Tahdzib at Tahdzib Ibn Hajar asqalani.

Published in: on September 29, 2007 at 3:50 am  Komentar Dinonaktifkan pada Urwah bin Az-Zubair (Wafat 94 H)  

Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I (Wafat 1423 H)

Nama dan Nasabnya

Beliau adalah Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi bin Qayidah Al-Hamdany Al-Wadi’I Al-Khilaly rahimahullah.

Kelahirannya

Beliau rahimahullah dilahirkan pada tahun 1352 H di Damaj Yaman di sebuah lingkungan Zaidiyah (Salah satu sekte Syi’ah) yang bercirikan tasawuf, mu’tazilah, dan berbagai bid’ah lainnya. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on September 29, 2007 at 3:15 am  Komentar Dinonaktifkan pada Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I (Wafat 1423 H)  

Ibnu mas’ud (Abdullah bin Mas’ud) Wafat 32 H

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hudzali. Nama julukannya “ Abu Abdirahman”. Ia sahabat ke enam yang paling dahulu masuk islam. Ia hijrah ke Habasyah dua kali, dan mengikut semua peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dalam perang Badar, Ia berhasil membunuh Abu Jahal.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda” Ambilah al-Quran dari empat orang: Abdullah, Salim (sahaya Abu Hudzaifah), Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab”. Menurut para ahli hadits, kalau disebutkan “Abdullah” saja, yang dimaksudkan adalah Abdullah bin Mas’ud ini. (lebih…)

Published in: on September 29, 2007 at 3:11 am  Komentar Dinonaktifkan pada Ibnu mas’ud (Abdullah bin Mas’ud) Wafat 32 H  

Imam Al Barbahari (wafat 329 H)

Nama, Kunyah, dan Nasab

Beliau adalah Al-Imam Al-Hafidz Al-Mutqin Ats-Tsiqah Al-Faqih Al-Mujahid Syaikh Hanabilah sekaligus pemuka mereke pada masanya Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al-Barbahari, sebuah nama yang dinisbahkan kepada Barbahar yaitu obat-obatan yang didatangkan dari India (1)

Tempat Kelahiran dan Tanah Air

Berkata Syaikh ArRadadi: “Tidak ada satu pun sumber (rujukan) yang berada di tangan kami yang menyebutkan tentang kelahiran dan pertumbuhan beliau. Hanya saja yang nampak bagi saya bahwa beliau dilahirkan dan tumbuh di Baghdad. Yang demikian itu dikarenakan di tempat itulah tersiar reputasi dan kemasyhuran beliau di kalangan masyarakat umum, terlebih lagi orang-orang khusus diantara mereka. Selain itu Al-Imam Al-Barbahari juga bersahabat erat dengan beberapa sahabat Imam AhlusSunnah wal Jama’ah yakni Ahmad bin Hanbal rahimahullah serta menimba ilmu dari mereka, sedangkan mayoritas mereka berasal dari Baghdad -sebagaimana yang akan datang penjelasannya-. Inilah diantara hal-hal yang menunjukkan bahwa beliau tumbuh di tengah-tengah alam yang penuh ilmu Sunnah yang sangat berpengaruh terhadap karakteristik kepribadiannya.” [Lihat kitab Thabaqat Al-Hanabilah (2/64)].

Berkata syaikh Al-Qahthani: “Imam Al-Barbahari bersahabat erat dengan beberapa sahabat Imam Ahmad rahimahullah diantaranya Imam Ahmad bin Muhammad Abu Bakar Al-Mawarzi salah seorang murid utama Imam Ahmad. Selain itu beliau juga bersahabat dengan Sahl bin ‘Abdillah At-Tustari, yang mana beliau meriwayatkan perkataan darinya: “Sesungguhnya Allah ‘aza wa jalla telah menciptakan dunia dan menjadikannya di dalamnya orang-orang bodoh dan para ulama, seutama-utama ilmu adalah yang diamalkan, semua ilmu akan menjadi hujjah kecuali yang diamalkan dan beramal dengannya adalah keindahan semata kecuali yang benar, dan amalan yang benar aku tidak memastikannya kecuali dengan istisna’ (pengecualian) masya Allah.” [Thabaqat Hanabilah (2/43)].

Kemuliaan, Keilmuan, dan Pujian Ulama terhadap Beliau

Berkata syaikh ArRadadi: “Imam Al-Barbahari adalah seorang Imam yang disegani, senantiasa berbicara dan mengajak kepada kebenaran serta seorang da’i yang senantiasa menyeru kepada Sunnah dan mengikuti atsar. Beliau memiliki kewibawaan dan kemuliaan disisi para penguasa. Majelis beliau makmur dengan halaqah hadits, atsar, dan fiqih serta dihadiri sebagian besar para Imam AhlulHadits dan Fiqih.”

Berkata Abu ‘Abdillah Al-Faqih: “Apabila kamu melihat seorang penduduk Baghdad mencintai Abul Hasan bin Basyar dan Abu Muhammad Al-Barbahari maka ketahuilah bahwa ia Shahibu Sunnah (orang yang mengikuti Sunnah)!” [Thabaqat Al-Hanabilah 2/58].

Berkata syaikh Al-Qahthani: “Para ulama ahli sejarah menyebutkan sebuah kisah yang menerangkan akan agungnya kemuliaan Imam Al-Barbahari. Pada suatu hari Qaramithah (salah satu sekte Syi’ah) merampok jamaah haji, maka bangkitlah Imam Al-Barbahari seraya mengatakan: “Wahai saudara sekalian! Bagi siapa saja yang membutuhkan bantuan sebesar seratus ribu dinar…(beliau ulangi 5 kali) datanglah kepadaku niscaya aku akan membantunya!

Berkata Ibnu Baththah: “Andaikata ada yang membutuhkan bantuan tersebut niscya akan beliau bantu.”

Berkata syaikh Ar-Radadi: “Adapun pujian ulama terhadap beliau banyak sekali, berkata Ibnu Abi Ya’la: “…Seorang syaikh, pemuka kaum pada masanya dan orang yang paling depan dalam mengingkari Ahlul Bid’ah serta menghadapi mereka dengan tangan dan lisan. Beliau terdepan di kalangan sahabat-sahabatnya, salah satu imam yang bijaksana dan penuh dengan hikmah, salah satu hufadz ilmu ushul yang mutqin serta salah satu orang yang tsiqah di kalangan mukminin.”

Berkata Imam Adz-Dzahabi dalam “Al-`Ibar”: “….Al-Faqih Al-Qudwah (panutan) syaikh Hanabilah di Irak baik ucapan, keadaan, maupun hafalan. Beliau memiliki kedudukan terhormat dan kemuliaan yang sempurna.”

Berkata Ibnul Jauzi: “…pengumpul ilmu, zuhud, dan sangat keras terhadap ahlul bid’ah.”

Berkata Ibnu Katsir: “Al-’Alim, Az-Zahid, Al-Faqih, Al-Hanbali, Al-Wa’idh (pemberi nasehat)…, sangat keras terhadap ahlul bid’ah dan maksiat. Beliau memiliki kedudukan yang tinggi yang sangat disegani oleh orang-orang khusus dan masyarakat umum.

Berkata Syaikh Al-Qahthani: “Diantara hal yang menunjukkan ketinggian kedudukan beliau adalah tatkala Abu ‘Abdillah bin ‘arafah yang terkenal dengan sebutan Nawthawaif meninggal pada bulan Shafar 313 H, yang mana jenazahnya dihadiri oleh segenap anak-anak dunia dan dien, majulah Imam AlBarbahari mengimani manusia. Pada tahun itulah bertambah harum nama dan kewibawaan Al-Imam Al-Barbahari, menjadi tinggi kalimatnya dan mulailah muncul sahabat-sahabat beliau sehingga mereka tersebar merata dalam mengingkari ahlul bid’ah. Telah sampai berita kepada kami bahwa Imam Al-Barbahari pernah melewati sisi barat kota, tiba-tiba saja beliau bersin. Maka dengan serempak para sahabat beliau mengucapkan “Yarhamukallah…”(semoga Allah merahmatimu) sehingga suara gemuruh mereka terdengar oleh Khalifah yang pada waktu itu sedang berada didalam rumah/istana-nya, khalifah pun bertanya tentang apa yang terjadi? Setelah diberitahukan khalifah memaklumi hal itu.” [Thabaqat Hanabilah 2/44]

Sifat Zuhud dan Wara’

Berkata syaikh Al-Qahthani: “Imam Al-Barbahari sangat terkenal dengan sifat zuhudnya terhadap harta benda dan perhiasan dunia, zuhud orang yang menguasai dunia, akan tetapi dunia tersebut beliau letakkan di telapak tangan beliau. Adapun kecintaan terhadap Allah ‘aza wa jalla dan Rasul-Nya sholallohu ‘alaihi wasallam serta meninggikan al-haq berada didalam lubuk hati hatinya. Oleh karena itu ulama yang menulis biografi beliau menyebutkan bahwa beliau melepaskan warisan ayahnya sejumlah 70.000 dirham [Thabaqat Hanabilah 2/43]

Murid-Murid Beliau

Berkata syaikh ArRadadi: “Banyak sekali penuntut ilmu yang menimba ilmu dan mengambil faedah dari Imam Al-Barbahari. Beliau rahimahullah adalah seorang panutan baik dalam tingkah laku maupun perkataannya. Diantara murid-murid beliau adalah:

  1. Al-Imam Al-Qudwah Al-Faqih Abu ‘Abdillah bin ‘Ubaidillah bin Muhammad Al-‘Ukbari yang terkenal dengan Ibnu Baththah, meninggal pada bulan Muharram 387 H. [Lihat biografinya dalam Al-`Ibar 2/171 dan As-Siyar 16/529]
  2. Al-Imam Al-Qudwah yang berbicara dengan penuh hikmah Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al-Baghdadi Abul Husam bin Sam’un, pemberi nasihat, pemilik berbagai ahwal dan maqam, meninggal pada pertengahan Dzulqa’dah 387 H. [Lihat biografinya dalam Al-`Ibar 2/172 dan As-Siyar 16/505]
  3. Ahmad bin Kamil bin Khalaf bin Syajarah Abu Bakar perawi kitab ini dari penulis.
  4. Muhammad bin Khalaf bin ‘Utsman Abu Bakar, berkata Al-Khatib Al-Baghdadi: “Berita yang sampai kepadaku dia adalah orang yang menampakkan kezuhudan dan kebagusan madzhab, hanya saja dia banyak sekali meriwayatkan hadits-hadits munkar dan batil.” [Lihat biografinya dalam Tarikh Baghdad 3/225 dan Al-Mizan 4/28]

Beberapa Kutipan Ucapan Beliau

Berkata syaikh Al-Qahthani: Berkata Imam Al-Barbahari: “Permisalan ahlul bid’ah adalah seperti Kalajengking, mereka sembunyikan kepala dan tangan-tangan mereka didalam tanah dan mereka keluarkan ekor-ekor mereka. Apabila mereka sudah merasa kuat, mulailah mereka menyengat. Demikian juga halnya ahlul bid’ah mereka sembuyikan diri-diri mereka di tengah-tengah manusia dan apabila mereka sudah kuat mulailah mereka meyebarkan (melancarkan aksi) apa yang mereka inginkan. [Al-Minhaj Al-Ahmad 3/37]

Dan diantara ucapan beliau yang sangat bermanfaat adalah: “Bermajelis untuk saling nasehat-menasehati membuka pintu-pintu faedah sedangkan bermajelis untuk berdebat menutup pintu-pintu faedah.”

Diantara syair yang beliau ucapkan:

Barang siapa yang qona`ah (merasa cukup) dengan bekalnya

Niscaya dia akan menjadi kaya dan hidup dengan penuh ketentraman

Aduhai, betapa indahnya sikap qona’ah. Betapa banyak orang yang rendah terangkat karenanya

Jiwa seorang pemuda akan menjadi sempit apabila merasa butuh

Andai saja ia mau mencari kemuliaan dengan Rabb-nya niscaya akan menjadi lapang

Tulisan-Tulisan Beliau

Berkata syaikh ArRadadi: “Para ulama yang menulis biografi beliau menyebutkan bahwa beliau memiliki karya tulis yang sangat banyak hanya saja tidak nampak bagi kami karya-karya beliau selain kitab ini.”

Ujian yang Beliau Alami dan Kisah Wafat Beliau

Berkata Syaikh Al-Qahthani: “Imam ini (Al-Barbahari) mendapatkan ujian sebagaimana orang-orang shalih sebelumnya mendapat ujian. Ahlul bid’ah senantiasa menghembus-hembuskan kebencian terhadap beliau kedalam hati penguasa. Pada tahun 321 H, masa Khalifah Al-Qahir dan menterinya Ibnu Muqillah berusaha menangkap Imam Al-Barbahari sehingga beliau bersembunyi. Namun dia berhasil menangkap beberapa sahabat dekat Imam Al-Barbahari dan membuang mereka ke Bashrah. Namun kemudian Allah ‘aza wa jalla menghukum Ibnu Muqillah atas perbuatan yang telah ia lakukan, yaitu Allah ‘aza wa jalla membuat Khalifah Al-Qahir Billah menjadi marah kepada Ibnu Muqillah sehingga Ibnu Muqillah melarikan diri dan Al-Qahir memecat dia dari jabatan kementriannya serta membakar habis rumahnya. Hingga akhirnya ia tertangkap oleh Al-Qahir Billah pada tahun 322 H, kemudian ia diturunkan dari kekhalifahan dan dicukil kedua matanya hingga mengucur darah dari kedua matanya yang akhirnya ia buta.

Kemudian datanglah khalifah ArRadhi. Ahlul bid’ah pun senantiasa menyusupkan kebencian kedalam hati khalifah sehinggah diserukan di Baghdad: “Jangan sampai ada dua shahabat Al-Barbahari yang berkumpul!” Sehingga mereka (Imam Al-Barbahari dan para shahabatnya) kembali bersembunyi. Ketika itu, Imam Al-Barbahari singgah di arah barat kota di suatu tempat yang bernama Babul Muhawwil. Kemudian beliau pindah ke arah timur kota untuk bersembunyi hingga akhirnya beliau meninggal dalam persembunyiannya pada bulan Rajab 329 H, saat itu beliau berumur 97 tahun. Ada yang mengatakan juga bahwa beliau hidup selama 77 tahun dan pada akhir hayatnya beliau sempat menikah dengan seorang budak wanita.” [Thabaqat Hanabilah 2/44, Siyar A’lamin Nubala` 15/93, dan Al-Minhajul Ahmad 2/38]

Berkata syaikh Ar-Radadi hafidzahullah ta’ala menukil perkataan Ibnu Abi Ya’la dalam Thabaqat Al-Hanabilah, ia berkata: “Telah menghikayatkan kepadaku kakekku dan nenekku, keduanya berkata: “Dahulu Abu Muhammad Al Barbahari bersembunyi di tempat saudara wanita Tazun yang berada di arah timur kota di suatu tempat yang bernama Darbul Hammam jalan Darbus Silsilah. Beliau tinggal disana sekitar 1 bulan hingga beliau dijemput oleh ajal di tempat tersebut. Maka berkatalah saudara wanita Tuzun tersebut kepada pembantunya: “Al-Barbahari telah meninggal, carilah siapa kira-kira orang yang bisa memandikannya?!” Tak lama kemudian pembantu tadi datang dengan orang yang akan memandikannya. Kemudian beliau pun dimandikan. Setelah itu pembantu tersebut mengunci seluruh pintu hingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya lantas ia berdiri menshalatkan jenazah Al-Imam Al-Barbahari sendirian. Ketika pemilik rumah tersebut mengintip, dia melihat ruangan tersebut telah dipenuhi oleh laki-laki yang mengenakkan pakaian bewarna putih dan hijau. Tatkala telah salan pembantu tadi tidak melihat seorangpun. Wanita pemilik rumah tersebut lantas memanggilnya seraya mengatakan: “Ya Hijam, kamu telah membinasakanku dan saudaraku!” Maka pembantu tadi menjawab: “Wahai nyonya bukankah nyonya melihat sendiri (apa yang telah aku lakukan)?” “Ya!” jawab si pemilik rumah. Lalu pembantu tadi berkata: “Ini semua kunci-kunci pintunya, semua tertutup.” Maka tuan wanita berkata: “Kuburkan dia di rumahku, apabila aku mati kuburkanlah aku disisinya…!”

Dengan demikian wahai saudara pembaca sekalian usai sudah biografi Imam Al-Barbahari rahimahullah yang tidak lain semua itu menunjukkan tingginya kemuliaan dan kedudukan beliau diantara ahlul ilmi. Untuk menambah wawasan tentang kisah perjalanan beliau rahimahullah silahkan merujuk sumber-sumber yang telah disebutkan oleh Syaikh ArRadadi hafidzahullah ta’ala berikut ini yang semoga bisa membangkitkan semangat untuk meneladani tingkah dan perilaku beliau baik yang berupa ilmu dan amal shalih maupun sikap zuhud terhadap dunia yang diberikan oleh Allah kepadanya serta sikap beliau yang mengedepankan sesuatu yang kekal daripada yang akan lenyap.

Akhirnya kita memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala semoga melimpahkan keluasan karunia dan rahmatNya kepada beliau dan seluruh ulama Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah tiada serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan hingga tegaknya Hari Pembalasan.

  1. Thabaqat AlHanabilah, Ibnu Abi Ya’la (2/18-45)
  2. Al-Muntadham, Ibnul Jauzi (14/14-15)
  3. Al-Kamil fit Tarikh, Ibnul Atsir (8/378)
  4. Al-`Ibar fi Khabari man Ghabar, Adz Dzahabi (2/33)
  5. Siyar A’lamin Nubala`, Adz-Dzahabi (15/90-93)
  6. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi (Hawadits wa wafyiat 321-330 H, hal 258-260)
  7. Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir (11/213-214)
  8. Al-Wafiy bil Wafiyat, Ash Shafadi (12/146-147)
  9. Mir’atul Janan, Al Yafi’i (2/286-287)
  10. Syidzaratu Adz Dzahab, Ibnul ‘Imad (2/319-323)
  11. Al-Minhajul Ahmad, Al-‘Alimi (2/26-39)
  12. Al-Maqashidul Arsyad, Ibnu Muflih (1/228-230)
  13. Al-Manaqib Al-Imam Ahmad, Ibnul Jauzi (hal 512-513)
  14. Jam’ul Juyusy wad Dasakir ‘ala Ibni ‘Asakir, Yusuf Ibnu ‘Abdil Hadi (Lam/81 Ba’)
  15. Al-A’lam, Az-Zarkali (2/201)
  16. Mu’jamul Mu’allifiin, Ridha Kahalah (3/253)
  17. Tarikh At-Turats Al-‘Arabi, Sazkin (1/234-235)

Dikutip dari buku Penjelasan Syarhus Sunnah Imam Al Barbahari Meniti Sunnah ditengah badai fitnah karya Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi (buku 1), penerbit Maktabah AlGhuroba` hal 25-33 dengan sedikit perubahan.

(1) Berkata Syaikh ArRadadi: “Lihat dalam penisbahannya “AlAnsab” karya AsSam’ani (1/307) dan “AlLubab” karya Ibnu Atsir (1/133)”

Dinukil dari blog: http://mumtazanas.wordpress.com

Published in: on September 29, 2007 at 1:06 am  Komentar Dinonaktifkan pada Imam Al Barbahari (wafat 329 H)  

Imam al-Nasa’i (215-303 H)

Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi. Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i), daerah yang menjadi saksi bisu kelahiran seorang ahli hadis kaliber dunia. Beliau berhasil menyusun sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di kemudian hari kondang dengan sebutan Sunan al-Nasa’i. BACA SELENGKAPNYA

Published in: on September 28, 2007 at 8:45 am  Komentar Dinonaktifkan pada Imam al-Nasa’i (215-303 H)  

Abdullah Bin Al-Mubarak (118-181 H)

Nama sebenarnya adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al-Marwazi lahir pada tahun 118 H/736 M.

Ayahnya seorang Turki dan ibunya seorang Persia. Ia adalah seorang ahli Hadits yang terkemuka dan seorang zahid termasyhur. Abdullah bin Mubarak telah belajar di bawah bimbingan beberapa orang guru, baik yang berada di Merv maupun di tempat-tempat lainnya, dan ia sangat ahli di dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, antara lain di dalam gramatika dan kesusastraan.

Ia adalah seorang saudagar kaya yang banyak memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Banyak karya-karyanya mengenai Hadits, salah satu di antaranya dengan tema “Zuhud masih dapat kita jumpai hingga waktu sekarang ini.”

Ia wafat pada tahun 181 H di kota Hit yang terletak di tepi sungai Euphrat.

–ooOoo–

Published in: on September 28, 2007 at 7:42 am  Komentar Dinonaktifkan pada Abdullah Bin Al-Mubarak (118-181 H)