25. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah nabi pembawa risalah Islam, rasul terakhir penutup rangkaian nabi-nabi dan rasul-rasul Allah Subhanahu Wa Ta’ala di muka bumi. Ia adalah salah seorang dari yang tertinggi di antara 5 rasul yang termasuk dalam golongan Ulul Azmi atau mereka yang mempunyai keteguhan hati (QS. 46: 35). Keempat rasul lainnya dalam Ulul Azmi tsb ialah Ibrahim Alaihissalam, Musa Alaihissalam, Isa Alaihissalam, dan Nuh Alaihissalam.
Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah anggota Bani Hasyim, sebuah kabilah yang paling mulia dalam suku Quraisy yang mendominasi masyarakat Arab. Ayahnya bernama Abdullah Muttalib, seorang kepala suku Quraisy yang besar pengaruhnya. Ibunya bernama Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Baik dari garis ayah maupun garis ibu, silsilah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sampai kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam dan Nabi Ismail Alaihissalam.
Tahun kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam dikenal dengan nama Tahun Gajah, karena pada tahun itu terjadi peristiwa besar, yaitu datangnya pasukan gajah menyerbu Mekah dengan tujuan menghancurkan Ka’bah. Pasukan itu dipimpin oleh Abrahah, gubernur Kerajaan Habsyi di Yaman. Abrahah ingin mengambil alih kota Mekah dan Ka’bahnya sebagai pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan dengan keingin Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang bersama-sama dengan Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia (Irak).
Dalam penyerangan Ka’bah itu, tentara Abrahah hancur karena terserang penyakit yang mematikan yang dibawa oleh burung Ababil yang melempari tentara gajah. Abrahah sendiri lari kembali ke Yaman dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Fîl: 1-5.
Beberapa bulan setelah penyerbuan tentara gajah, Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M. Saat itu ayah Muhammad, Abdullah, telah meninggal dunia.
Nama Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul Muttalib. Nama itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang Quraisy, karenanya mereka berkata kepada Abdul Muttalib, “Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan begitu besar, tetapi tak satu pun yang bernama demikian.” Abdul Muttalib menjawab, “Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain. Dengam nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”
Masa pengasuhan Haliman binti Abi Du’aib as-Sa’diyah
Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita desa dengan maksud supaya ia bisa tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik dan udara yang lebih bersih. Saat Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa’ad datang ke Mekah menghubungi keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya. Desa Sa’ad terletak kira-kira 60 km dari Mekah, dekat kota Ta’if, suatu wilayah pegunungan yang sangat baik udaranya.
di antara ibu-ibu tsb terdapat seorang wanita bernama Halimah binti Abu Du’aib as Sa’diyah. Keluarga Halimah tergolong miskin, karenanya ia sempat ragu untuk mengasuh Muhammad karena keluarga Aminah sendiri juga tidak terlalu kaya. Akan tetapi entah mengapa bayi Muhammad sangat menawan hatinya, sehingga akhirnya Halimah pun mengambil Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sebagai anak asuhnya.
Ternyata kehadiran Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sangat membawa berkah pada keluarga Halimah. Dikisahkan bahwa kambing peliharaan Haris, suami Halimah, menjadi gemuk-gemuk dan menghasilkan susu lebih banyak dari biasanya. Rumput tempat menggembala kambing itu juga tumbuh subur. Kehidupan keluarga Halimah yang semula suram berubah menjadi bahagia dan penuh kedamaian. Mereka yakin sekali bahwa bayi dari Mekah yang mereka asuh itulah yang membawa berkah bagi kehidupan mereka.
Tanda-tanda kenabian
Sejak kecil Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah memperlihatkan keistimewaan yang sangat luar biasa.
Usia 5 bulan ia sudah pandai berjalan, usia 9 bulan ia sudah mampu berbicara. Pada usia 2 tahun ia sudah bisa dilepas bersama anak-anak Halimah yang lain untuk menggembala kambing. Saat itulah ia berhenti menyusu dan karenanya harus dikembalikan lagi pada ibunya. Dengan berat hati Halimah terpaksa mengembalikan anak asuhnya yang telah membawa berkah itu, sementara Aminah sangat senang melihat anaknya kembali dalam keadaan sehat dan segar.
Namun tak lama setelah itu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kembali diasuh oleh Halimah karena terjadi wabah penyakit di kota Mekah. Dalam masa asuhannya kali ini, baik Halimah maupun anak-anaknya sering menemukan keajaiban di sekitar diri Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Anak-anak Halimah sering mendengar suara yang memberi salam kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, “Assalamu ‘Alaika ya Muhammad,” padahal mereka tidak melihat ada orang di situ.
Dalam kesempatan lain, Dimrah, anak Halimah, berlari-lari sambil menangis dan mengadukan bahwa ada dua orang bertubuh besar-besar dan berpakaian putih menangkap Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Halimah bergegas menyusul Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Saat ditanyai, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Ada 2 malaikat turun dari langit. Mereka memberikan salam kepadaku, membaringkanku, membuka bajuku, membelah dadaku, membasuhnya dengan air yang mereka bawa, lalu menutup kembali dadaku tanpa aku merasa sakit.”
Halimah sangat gembira melihat keajaiban-keajaiban pada diri Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, namun karena kondisi ekonomi keluarganya yang semakin melemah, ia terpaksa mengembalikan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, yang saat itu berusia 4 tahun, kepada ibu kandungnya di Mekah.
Dalam usia 6 tahun, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam telah menjadi yatim-piatu. Aminah meninggal karena sakit sepulangnya ia mengajak Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berziarah ke makam ayahnya. Setelah kematian Aminah, Abdul Muttalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Namun kemudian Abdul Muttalib pun meninggal, dan tanggung jawab pemeliharaan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam beralih pada pamannya, Abi Thalib.
Ketika berusia 12 tahun, Abi Thalib mengabulkan permintaan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk ikut serta dalam kafilahnya ketika ia memimpin rombongan ke Syam (Suriah). Usia 12 tahun sebenarnya masih terlalu muda untuk ikut dalam perjalanan seperti itu, namun dalam perjalanan ini kembali terjadi keajaiban yang merupakan tanda-tanda kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam.
Segumpal awan terus menaungi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sehingga panas terik yang membakar kulit tidak dirasakan olehnya. Awan itu seolah mengikuti gerak kafilah rombongan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Bila mereka berhenti, awan itu pun ikut berhenti. Kejadian ini menarik perhatian seorang pendeta Kristen bernama Buhairah yang memperhatikan dari atas biaranya di Busra. Ia menguasai betul isi kitab Taurat dan Injil. Hatinya bergetar melihat dalam kafilah itu terdapat seorang anak yang terang benderang sedang mengendarai unta. Anak itulah yang terlindung dari sorotan sinar matahari oleh segumpal awan di atas kepalanya. “Inilah Roh Kebenaran yang dijanjikan itu,” pikirnya.
Pendeta itu pun berjalan menyongsong iring-iringan kafilah itu dan mengundang mereka dalam suatu perjamuan makan. Setelah berbincang-bincang dengan Abi Thalib dan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam sendiri, ia semakin yakin bahwa anak yang bernama Muhammad adalah calon nabi yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Keyakinan ini dipertegas lagi oleh kenyataan bahwa di belakang bahu Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terdapat sebuah tanda kenabian.
Saat akan berpisah dengan para tamunya, pendeta Buhairah berpesan pada Abi Thalib, “Saya berharap Tuan berhati-hati menjaganya. Saya yakin dialah nabi akhir zaman yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh umat manusia. Usahakan agar hal ini jangan diketahui oleh orang-orang Yahudi. Mereka telah membunuh nabi-nabi sebelumnya. Saya tidak mengada-ada, apa yang saya terangkan itu berdasarkan apa yang saya ketahui dari kitab Taurat dan Injil. Semoga tuan-tuan selamat dalam perjalanan.”
Apa yang dikatakan oleh pendeta Kristen itu membuat Abi Thalib segera mempercepat urusannya di Suriah dan segera pulang ke Mekah.
Gelar al-Amin
Pada usia 20 tahun, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mendirikan Hilful-Fudûl, suatu lembaga yang bertujuan membantu orang-orang miskin dan teraniaya. Saat itu di Mekah memang sedang kacau akibat perselisihan yang terjadi antara suku Quraisy dengan suku Hawazin. Melalui Hilful-Fudûl inilah sifat-sifat kepemimpinan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam mulai tampak. Karena aktivitasnya dalam lembaga ini, disamping ikut membantu pamannya berdagang, namanya semakin terkenal sebagai orang yang terpercaya. Relasi dagangnya semakin meluas karena berita kejujurannya segera tersiar dari mulut ke mulut, sehingga ia mendapat gelar Al-Amîn, yang artinya orang yang terpercaya.
Selain itu ia juga terkenal sebagai orang yang adil dan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Suatu ketika bangunan Ka’bah rusak karena banjir. Penduduk Mekah kemudian bergotong-royong memperbaiki Ka’bah. Saat pekerjaan sampai pada pengangkatan dan peletakan Hajar Aswad ke tempatnya semula, terjadi perselisihan. Masing-masing suku ingin mendapat kehormatan untuk melakukan pekerjaan itu. Akhirnya salah satu dari mereka kemudian berkata, “Serahkan putusan ini pada orang yang pertama memasuki pintu Shafa ini.”
Mereka semua menunggu, kemudian tampaklah Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam muncul dari sana. Semua hadirin berseru, “Itu dia al-Amin, orang yang terpercaya. Kami rela menerima semua keputusannya.”
Setelah mengerti duduk perkaranya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam lalu membentangkan sorbannya di atas tanah, dan meletakkan Hajar Aswad di tengah-tengah, lalu meminta semua kepala suku memegang tepi sorban itu dan mengangkatnya secara bersama-sama. Setelah sampai pada ketinggian yang diharapkan, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam meletakkan batu itu pada tempatnya semula. Dengan demikian selesailah perselisihan di antara suku-suku tsb dan mereka pun puas dengan cara penyelesaian yang sangat bijak itu.
Pernikahan dengan Khadijah
Pada usia 25 tahun, atas permintaan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar kaya raya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam berangkat ke Suriah membawa barang dagangan saudagar wanita yang telah lama menjanda itu. Ia dibantu oleh Maisaroh, seorang pembantu lelaki yang telah lama bekerja pada Khadijah. Sejak pertemuan pertama dengan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, Khadijah telah menaruh simpati melihat penampilan Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam yang sopan itu. Kekagumannya semakin bertambah mengetahui hasil penjualan yang dicapai Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam di Suriah melebihi perkiraannya.
Akhirnya Khadijah mengutus Maisaroh dan teman karibnya, Nufasah untuk menyampaikan isi hatinya kepada Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam. Khadijah yang berusia 40 tahun, melamar Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk menjadi suaminya. (lebih…)