Para Tabi’in dan Tabiut Tabi’in

Sedangkan para Tabi’ut Tabi’in dan murid muridnya serta generasi sesudahnya telah disebutkan pada biografi diatas antara lain seperti: Malik bin Anas, Imam Al Auza’I, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Imam Syafee’I, Imam Hambali, Imam Muslim, Imam Bukhari, Imam Abu Dawud, Imam Hatim, Imam Zur’ah, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i. Serta generasi berikutnya.

Iklan
Published in: on Oktober 25, 2007 at 8:12 am  Komentar Dinonaktifkan pada Para Tabi’in dan Tabiut Tabi’in  

Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib

(Lebih Dikenal Dengan Muhammad Ibn al-Hanafiah; Jauhi Kekuasaan Demi Menjaga Pertumpahan Darah)

“Yang aku tahu, hanya Muhammad bin al-Hanafiyyah yang banyak menimba ilmu dari ‘Ali.” (Ibn al-Junaid)

Telah terjadi percekcokan antara Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan kepadamu atas diriku…Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah , sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.” (lebih…)

Published in: on Oktober 14, 2007 at 8:24 am  Komentar Dinonaktifkan pada Muhammad Ibn Ali Ibn Abi Thalib  

Aisyah Binti Thalhah (wafat 110H)

Abu Zur’ah ad-Dimasyqi: “Aisyah binti Thalhah adalah seorang wanita mulia. Ia mendapatkan hadits dari Aisyah Ummul Mukminin.”

al-`Ajliy: “Aisyah binti Thalhah seorang wanita Madinah, seorang tabiin dan tsiqah (terpercaya dalam riwayatnya).”

Al-Mazziy: “Tidak ada wanita yang lebih pandai dari murid-murid Aisyah Ummul-mukminin; Amrah binti Abdur-Rahman, Hafshah binti Sirin dan Aisyah binti Thalhah.” BACA SELENGKAPNYA

Published in: on Oktober 14, 2007 at 7:37 am  Komentar Dinonaktifkan pada Aisyah Binti Thalhah (wafat 110H)  

Thaawus Ibn Kaisan


“Aku melihatmu wahai Abu Abdirrahman dalam mimpi, engkau shalat di Ka’bah dan Nabi berada di pintunya, beliau bersabda kepadamu, ‘Bukalah penutup mukamu dan terangkanlah bacaanmu wahai Thaawus’” (Mujahid)

Hampir saja khalifah muslimin Sulaiman ibn Abdul Malik sampai dan menetap di ujung al-Baitul ‘Atiq (Ka’bah) dan membasahi kerinduannya kepada Ka’bah yang agung hingga ia menoleh kepada penjaganya dan berkata, “Carilah seorang alim untuk kita yang dapat memberikan pemahaman agama kepada kita dan mengingatkan kita pada hari yang mulia dari hari-hari Allah ini.”

Penjaga tersebut pergi memandangi wajah-wajah Ahlul Mausim (kumpulan orang yang berhaji), dan mulai menanyai mereka tentang keinginan amirul mukminin, lalu ada yang memberitahukan kepadanya, “Ini Thaawus ibn Kaisan, Ahli fiqih masanya, orang yang paling jujur bahasanya dalam berdakwah kepada Allah, ambillah ia.!”

Penjaga tersebut menemui Thaawus dan berkata, “Penuhilah undangan amirul mukminin wahai syaikh.”

Thaawus memenuhi undangan tanpa berlambat-lambat, hal itu karena ia meyakini bahwa wajib bagi para dai kepada Allah ta’ala agar memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan kepadanya di mana mereka pasti sesegera mungkin mengambil kesempatan itu. Ia meyakini bahwa kalimat yang paling afdhal (utama) adalah Kalimatul Haq (Perkataan benar) yang diharapkan dapat meluruskan kebengkokan para pemimpin dan menjauhkan mereka dari kezhaliman serta mendekatkan mereka kepada Allah ta’ala.

Thaawus pun pergi bersama penjaga. Ketika masuk menemui amirul mukminin, ia menyalaminya. Khalifah membalas salamnya dengan yang lebih baik dari itu dan memuliakan penyambutannya dan mendekatkan majlisnya.

Ia (khalifah) mulai menanyainya tentang apa yang musykil (pelik) dari manasik-manasik haji dan ia (Thaawus) mendengarkannya dengan penuh penghormatan dan pengagungan.

Thaawus berkata, “Ketika aku merasa bahwa amirul mukminin telah sampai kepada keinginannya dan tidak tersisa apa yang akan ditanyakannya. Aku berkata dalam diriku, ‘Sesungguhnya majlis ini adalah majlis yang Allah akan menanyaimu tentangnya wahai Thaawus.!” Kemudian aku menghadap kepadanya dan berkata, ‘Wahai amirul mukminin, sesungguhnya ada batu besar berada di tepi sumur di jurang Jahannam. Ia terus menggelinding di sumur tersebut selama tujuh puluh tahun hingga sampai pada dasarnya. Tahukah anda untuk siapa Allah menyiapkan satu sumur dari sumur-sumur Jahannam ini wahai amirul mukminin?.”

Tanpa berpikir, ia pun menjawab, “Tidak.” Kemudian ia kembali kepada dirinya dan berkata, “Aduh celaka, untuk siapa Allah menyiapkannya.?”

Aku menjawab, “Allah telah menyiapkannya untuk orang yang telah Dia jadikan sebagai wali dalam hukum-Nya kemudian ia berbuat aniaya.!”

Sulaiman terkejut ketakutan dibuatnya. Aku mengira bahwa nyawanya akan keluar dari badannya. Ia mulai menangis tersedu-sedu mengiris urat jantung. Aku meninggalkannya dan beranjak pergi sementara ia mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika Umar ibn Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah, ia mengirim surat kepada Thaawus ibn Kaisan dan berkata kepadanya, “Wasiatilah aku wahai Abu Abdirrahman.”

Thaawus menulis risalah kepadanya dalam satu baris yang isinya, “Apabila engkau menginginkan agar seluruh amalanmu baik, maka pekerjakanlah Ahlul Khair (orang-orang yang baik), wassalam.” Ketika Umar membaca risalah tersebut, ia berkata, “Cukuplah ini sebagai mauidzah…cukuplah ini sebagai mau’izhah.!!”

Ketika khilafah berpindah kepada Hisyam ibn Abdul Malik, ada kejadian-kejadian masyhur yang diriwayatkan antara Thaawus dengannya.

Di antarnya adalah bahwa Hisyam datang ke Baitul Haram menunaikan haji. Sesampainya di al-Haram, berkatalah ia kepada orang-orang terdekatnya dari penduduk Mekkah, “Carilah untuk kami seseorang dari sahabat Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam.” Mereka menjawab, “Sesungguhnya para sahabat -wahai Amirul Mukminin- telah bertemu dengan Rabb mereka satu demi satu hingga tidak tersisa seorang pun dari mereka.”

“Kalau demikian, maka dari tabi’inm,” katanya. Lalu didatangkanlah Thaawus ibn Kaisan.Ketika masuk menemuinya, ia melepas kedua sandalnya di ujung permadaninya. Kemudian ia menyalami sang khalifah tanpa memanggilnya dengan sapaan Amirul Mukminin tapi memanggilnya dengan namanya tanpa menggunakan kunyah-nya. Ia juga duduk sebelum diizinkan untuk duduk.

Kemarahan menyala dalam diri Hisyam hingga terlihat di kedua matanya. Yang demikian itu karena ia melihat tingkah laku Thaawus yang begitu berani terhadapnya dan merendahkan wibawanya di hadapan anggota majlis serta para bawahannya. Hanya saja ia langsung teringat bahwa ia sedang berada di tanah haram Allah . Ia menenangkan dirinya dan berkata kepada Thaawus, “Apa yang membuatmu melakukan hal tersebut wahai Thaawus.?!” “Apa yang telah aku lakukan,?” katanya. Khalifah kembali marah dan murka seraya berkata, “Kamu melepaskan sandallmu di ujung karpetku. Kamu tidak menyalamiku dengan sapaan amirul mukminin tapi kamu memanggilku dengan namaku bukan dengan kunyah-ku, lalu kamu duduk tanpa izin dariku.!”

Dengan tenang Thaawus menjawab, “Adapun kenapa aku melepas sandalku di ujung karpetmu, maka aku melepaskannya di hadapan Rabbul ‘Izzah setiap hari lima kali sedangkan Dia tidak mencelaku dan marah kepadaku.!? Adapun ucapanmu bahwa aku tidak menyalamimu dengan sapaan amirul mukminin, karena tidak seluruh muslimin ridha dengan kepemimpinanmu sehingga aku takut berdusta bila memanggilmu dengan amirul mukminin. Adapun celaanmu terhadapku bahwa aku memanggilmu dengan namam, bukan dengan julukanmu, maka sesungguhnya Allah memangggil para nabi-Nya menggunakan nama-nama mereka, Allah berfirman, “Wahai Daud…wahai Yahya…wahai ‘Isa!!” namun Dia malah memberikan julukan kepada para musuh-Nya, Dia berfirman, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab (paman Nabi) dan sesungguhnya dia akan binasa.” (QS.al-Masad:1) Adapun perkataanmu bahwa aku duduk sebelum engkau mengizinkan, sesungguhnya aku mendengar amirul mukminin, ‘Ali ibn Abi Thalib berkata, ‘Apabila engkau ingin melihat kepada seseorang dari ahli neraka, maka lihatlah kepada orang yang duduk sedangkan di sekelilingnya orang-orang berdiri di hadapannya,” maka aku tidak mau kalau engkau menjadi orang yang termasuk dari ahli neraka itu.!!”

Hisyam lalu menundukkan pandangannya ke tanah karena malu, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, “Nasihati aku wahai Abu Abdirrahman.” Ia menjawab, “Aku mendengar ‘Ali ibn Abi Thalib berkata, ‘Sesungguhnya di Jahannam ada ular-ular yang seperti tiang yang tinggi kokoh dan kalajengking-kalajengking yang besarnya seperti Bighal (hasil dari perkawinan antara kuda dengan keledai, penj). Ia menyengat setiap pemimpin yang tidak adil terhadap rakyatnya.!!”

Kemudian ia bangkit dan pergi. Sebagaimana Thaawus mendatangi sebagian ulil amri untuk mengingatkan dan mengarahkan mereka. Ia juga berpaling dari sebagian yang lain untuk merendahkan dan mencela mereka. Putranya menceritakan, “Pada suatu tahun kami keluar bersama ayah untuk menunaikan haji dari Yaman, kami singgah di beberapa kota. Kota tersebut memiliki seorang pejabat yang dikenal dengan sebutan ‘Ibn Nujaih.’ Ia adalah pejabat yang paling busuk, orang yang paling berani terhadap kebenaran dan orang yang demikian banyak terjerumus ke dalam kebathilan.

Kami mendatangi masjid negeri tersebut untuk melaksanakan shalat fardhu. Ternyata Ibn Nujaih telah mengetahui kedatangan ayahku. Ia datang ke masjid dan duduk di hadapannya serta menyalaminya. Ayahku tidak menjawabnya dan memalingkan punggungnya.!? Ia mendatangi daru sebelah kanannya dan mengajaknya berbicara, namun ayahku tetap berpaling darinya. Ia berpindah ke sebelah kirinya dan mengajaknya bicara, tetapi ia berpaling juga darinya. Ketika melihat hal tersebut, aku bangkit kepadanya dan menjulurkan tanganku ke arahnya. Aku menyalaminya dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya ayahku belum mengenalmu.’ Ia menjawab, ‘Bahkan, sesungguhnya ayahmu telah mengenalku. Dan sesungguhnya lantaran begitu kenal denganku membuatnya berbuat seperti apa yang kamu lihat tadi.!’ Ia kemudian pergi, diam dan tidak berkata sepatah pun.

Ketika kami kembali ke persinggahan, ayahku menoleh kepadaku dan berkata, ‘Wahai dung.! (mengapa) kamu mencela mereka dengan lidah tajammu di saat mereka tidak ada. Dan bila mereka datang, kamu lembutkan perkataanmu kepada mereka!! Bukankah ini benar-benar nifak?!.’”

Demikianlah, Thaawus ibn Kaisan tidaklah mengkhususkan para khalifah dan umara dengan mauidzah-mauidzahnya, akan tetapi mencurahkannya kepada setiap orang yang merasa memiliki hajat dan raghbah (kecintaan) kepadanya.

Di antaranya yang diriwayatkan oleh ‘Athaa ibn Abi Rabbah, ia berkata, “Thaawus ibn Kaisan melihatku di suatu tempat yang ia tidak merasa senang. Ia berkata, ‘Wahai ‘Athaa, jauhi olehmu untuk mengangkat hajat-hajatmu kepada orang yang menutup pintunya di wajahmu serta menempatkan para penjaganya di depanmu. Akan tetapi mintalah hajatmu dari Dzat yang membuka pintu-pintuNya untukmu dan menuntutmu untuk berdoa kepada-Nya dan berjanji akan mengabulkan untukmu.!”

Ia pernah berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, temanilah orang-orang yang berakal, niscaya kamu akan dinasabkan kepada mereka, walaupun engkau tidak termasuk dari mereka (bukan seperti mereka). Janganlah engkau berteman dengan orang-orang yang jahil, karena sesungguhnya bila engkau bersahabat dengan mereka, engkau akan dinisbatkan kepada mereka walaupun engkau tidak termasuk dari golongan mereka (bukan seperti mereka).

Ketahuilah bahwa segala sesuatu memiliki tujuan dan sesungguhnya tujuan seorang manusia adalah kesempurnaan agamanya dan kesempurnaan akhlaknya.” Putra beliau, Abdullah telah tumbuh di bawahan asuhan dan didikan sang orang tua, berakhlak seperti akhlaknya dan mengikuti jejak perjalanan hidupnya. Di antaranya, bahwa Khalifah al-‘Abbasi (khalifah Bani Abbasiyah), Abu Ja’far al-Manshur telah memanggil putra Thawus, yakni Abdullah ibn Thaawus serta (memanggil) Malik ibn Anas* untuk menziarahinya. Ketika keduanya masuk menemuinya dan mengambil tempat duduknya di dekatnya, khalifah menoleh kepada Abdullah ibn Thaawus dan berkata, “Riwayatkan kepadaku sesuatu dari hadits yang telah disampaikan ayahmu kepadamu.”

Ia menjawab, “Ayahku telah bercerita kepadaku bahwa manusia yang peling keras adzabnya pada hari kiamat adalah seseorang yang telah Allah jadikan sebagai pemimpin yang mengurusi urusan kaum muslimin dalam kekuasaannya, kemudian ia memasukkan kezhaliman dalam putusannya.”

Malik ibn Anas berkata, “Ketika mendengar perkataannya ini, aku mendekap pakaianku takut darahnya menimpaku. Hanya saja Abu Ja’far terdiam sesaat dan tidak berkata. Kemudian kami berlalu dari situ dengan selamat.

Thaawus ibn Kaisan telah diberi umur panjang hingga mencapai seratus tahun atau lebih sedikit. Hanya saja ketuaan dan usia yang lanjut tidak sedikitpun mempengaruhi kejernihan akalnya dan ketajaman pikirannya serta kecepatan dalam menjawab.

Abdullah asy-Syaami menceritakan, “Aku mendatangi Thaawus di rumahnya untuk menimba ilmu darinya padahal aku tidak mengenalnya. Maka ketika aku mengetuk pintu, keluarlah seorang syaikh tua menemuiku. Aku mengucapkan salam kepadanya dan aku berkata, ‘Apakah anda Thaawus ibn Kaisan.?” Ia menjawab, “Bukan, aku adalah putranya.’ Aku berkata, ‘Bila kamu adalah putranya, aku tidak merasa aman bila syaikh menjadi pikun dan rusak akalnya (karena ketuaan), sesungguhnya aku menujunya dari tempat yang jauh untuk menimba ilmunya.’ Ia menjawab, ‘Celaka engkau! Sesesungguhnya para pengemban kitab Allah tidak rusak akalnya! Masuklah menemuinya.”

Aku masuk menemui Thaawus dan menyalaminya seraya berkata, ’Sungguh, aku telah mendatangimu untuk menimba ilmumu dan cinta kepada nasehatmu.’ Ia (Thaawus) berkata, ‘Tanyakanlah dan ringkaslah. ’Aku menjawab, ‘Aku akan menyingkatnya semampuku, insya Allah.’ Ia berkata, ‘Apakah kamu ingin agar aku mengumpulkan untukmu inti dari apa yang ada dalam Taurat, Zabur (kitab Nabi Daud AS), Injil dan al-Qur’an?’ ‘Ya,’ jawabku.

Ia berkata, ‘Takutlah kepada Allah ta’ala dengan penuh rasa takut dimana tidak ada sesuatupun yang lebih kamu takuti dari-Nya. Dan berharaplah dari Dia dengan pengharapan yang lebih besar dari rasa takutmu kepada-Nya. Cintailah untuk manusia apa-apa yang kamu cintai untuk dirimu.!!’”

Pada malam kesepuluh dari bulan Dzulhijjah tahun 106 H, bertolaklah syaikh yang telah berusia lanjut, Thaawus ibn Kaisan bersama para jema’ah haji dari Arafah menuju Muzdalifah untuk yang keempat puluh kalinya. Ketika ia menjejakkan kakinya di tanahnya yang suci dan melaksanakan shalat Maghrib bersama Isya (jamak takdim). Ia merebahkan punggungnya ke tanah dan ingin istirahat sebentar. Sesaat kemudian, kematian menjemput beliau.

Ia menemui kematiannya jauh dari sanak keluarga dan kampung halaman, dalam keadaan bertaqarrub kepada Allah. Bertalbiyah dan berihram mengharapkan pahala Allah, keluar dari dosa-dosanya seperti ia dilahirkan oleh ibunya berkat karunia Allah.

Ketika subuh telah muncul dan orang-orang ingin menguburnya. Mereka tidak mampu mengeluarkan jenazahnya karena saking banyaknya orang yang berdesak-desakan terhadapnya. Maka Emir Mekkah mengarahkan penjaga untuk menggiring kerumunan manusia itu dari jenazahnya hingga memudahkan prosesi penguburannya.

Begitu banyak orang yang menyalatinya sehingga tidak ada yang bisa menghitung jumlahnya kecuali Allah. Dan di antara kelompok yang menyhalatinya itu adalah khalifah kaum muslimin, Hisyam ibn Abdul Malik.

Sumber: Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn Sa’d: 5/537, Thabaqat khalifah Ibn Khayyaat: 287, Tarikh khalifah Ibn Khayyaat: 236,. At-Tarikh al-Kabiir: 4/365, Al-Jarh wat Ta’diil: 4/500, Hilyatul Auliyaa: 4/3, 23, Thabaqatul Fuqaha oleh asy-Syiirazi: 73, Al-Lubaab: 1/241, Tahdziibut Tahdziib: 2/101, Tarikhul Islam: 4/126, Tadzkiratul Huffadz: 1/90, Al-‘Ibar: 1/130, Thabaqatul Qurra: 1/341, An-Nujumuz Zaahirah: 1/26, Syadzaratudz Dzahab: 1/133

Published in: on Oktober 14, 2007 at 7:31 am  Komentar Dinonaktifkan pada Thaawus Ibn Kaisan  

Utbah bin Ghazwan

Utbah bin Ghazwan gabenor Basrah yang zuhud berperawakan tinggi dengan muka bercahaya dan rendah hati, termasuk angkatan pertama masuk Islam, ada diantara Muhajirin pertama yang hijrah ke Habsyi, dan yang hijrah ke Madinah. Beliau termasuk pemanah pilihan yang jumlahnya tidak banyak yang telah berjasa besar di jalan Allah.

Beliau adalah orang terakhir dari kelompok tujuh perintis yang bai’at berjanji setia, dengan menjabat tangan kanan Rasulullah dengan tangan kanan mereka, bersedia menghadapi orang-orang Quraisy yang sedang memegang kekuatan kekuasaan yang gemar berbuat zalim dan aniaya. Sejak hari pertama dimulainya da’wah dengan penuh penderitaan dan kesulitan, Utbah dan kawan-kawan telah memegang teguh suatu perinsip hidup yang mulia, yang kemudian menjadi obat dan makanan bagi hati nurani manusia dan telah berkembang luas pada generasi selanjutnya. Utbah ada diantara sahabat yang diperintahkan oleh Rasulullah untuk Hijrah ke Habsy, tetapi ia begitu rindu kepada Rasulullah sehingga ia tidak betah untuk menetap disana, kembali ia menjelajah daratan dan lautan untuk kembali ke Makah untuk hidup disisi Rasulullah hingga saatnya hijrah ke Madinah. (lebih…)

Published in: on Oktober 14, 2007 at 7:28 am  Komentar Dinonaktifkan pada Utbah bin Ghazwan  

Syuraih bin al-Harits al-Kindi (alQadli)

Sisi-Sisi Keadilan Islam Nan Membuat Air Mata Menitik Terharu

“Ada orang yang bertanya kepada Syuraih, ‘Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini?.’ Dia menjawab, ‘Dengan bermudzakarah bersama para ulama; Aku mengambil dari mereka dan mereka mengambil dariku” (Sufyan al-Ausi)

Amirul mu’minin, Umar bin Al-Khaththab membeli seekor kuda dari seorang laki-laki Badui, dan membayar kontan harganya, kemudian menaiki kudanya dan pergi. (lebih…)

Published in: on Oktober 14, 2007 at 7:25 am  Komentar Dinonaktifkan pada Syuraih bin al-Harits al-Kindi (alQadli)  

Shilah Bin Asy-Yam Al-‘Adawi

Namanya adalaha Shilah bin asy Syam al ‘adawi, ia Seorang yang ahli ibadah yang pemberani, singa tunduk padanya, mati syahid berdua putranya! Kisah ini sangat menarik sekali, sekaligus mengharukan. Betapa tidak? Bagaimana terkoleksi pada seorang tokoh dua sifat; seorang yang ahli ibadah tapi juga pemberani di medan perang. Ia menjadi rebutan para komandan pasukan Islam dalam peperangan mereka karena keberanian dan doanya. Ia bernasib mujur karena mendapatkan isteri yang ahli ibadah pula dan seorang putra yang pemberani. Kekhusyu’an shalatnya tidak terpengaruh oleh kedatangan singa yang hendak menerkamnya bahkan singa itu kemudian tunduk padanya… (lebih…)

Published in: on Oktober 14, 2007 at 7:21 am  Komentar Dinonaktifkan pada Shilah Bin Asy-Yam Al-‘Adawi  

Said Ibn Jubair

Namanya adalah Said bin Jubair, ia eorang pemuda yang bertubuh kekar, berperawakan sempurna, cekatan, gesit dan rajin. Disamping itu ia adalah seorang yang pandai, cerdas, getol terhadap hal-hal mulia dan jauh dari yang haram.

Berkulit hitam, rambut keriting serta garis keturunan dari Habasyah bukanlah alasan untuk mencela kepribadiannya yang langka dan tiada banding walaupun masih belia.

Pemuda yang berasal dari Habsyah namun loyal kepada bangsa Arab ini, mengetahui bahwa ilmu adalah jalannya yang lurus yang akan menghantarnya kepada Allah.

Dan bahwa ketakwaan merupakan jalannya yang terbentang untuk mencapai surga. Maka, ia menjadikan takwa di sebelah kanannya dan ilmu di sebelah kirinya dan mengikat kedua tangannya dengannya.

Dengan takwa dan ilmu ia bertolak menghabiskan perjalanan hidup tanpa putus asa dan rasa jemu.

Semenjak kecil, orang-orang telah melihatnya entah itu dengan berkutat di depan kitabnya (untuk) belajar…atau berdiri di mihrab (untuk) beribadah. Dialah potret indah kaum muslimin di masanya.

Pemuda yang bernama Said ibn Jubair telah menimba ilmu dari sekelompok sahabat-sahabat besar seperti Abu Said al-Khudri, ‘Adiy ibn Hatim ath-Thaa’i, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah ad-Dausi, Abdullah ibn Umar dan Ummul Mukminin ‘Aisyah -semoga Allah meridlai mereka seluruhnya-.

Hanya saja gurunya yang terbesar dan pengajarnya yang agung adalah Abdullah ibn Abbas, ‘alimnya umat Muhammad serta samudra ilmunya yang melimpah luas.

Said ibn Jubair mengikuti Abdullah Ibnu Abbas sebagaimana bayangan sesuatu yang selalu menempel. Ia belajar al-Qur’an dan tafsir serta hadits dan detailnya dari beliau.

Ia juga memperdalam agama dan belajar tafsir kepadanya, ia mempelajari bahasa sehingga sangat menguasainya. Hingga begitu ia pergi tidak ada seorang pun di muka bumi dari penduduk zamannya kecuali pasti akan membutuhkan ilmunya.

Ia kemudian berkeliling di negeri-negeri muslimin untuk mencari ma’rifah (pengetahuan) beberapa saat lamanya.

Setelah sempurna apa yang ia inginkan dari ilmu. Ia memilih Kufah sebagai rumah dan tempat tinggalnya. Di situ, ia menjadi pengajar dan imam bagi masyarakatnya.

Ia menjadi Imam pada bulan Ramadlan. Pada satu malam ia membaca dengan Qiraa’at (cara baca al-Qur’an) ala Abdullah ibn Mas’ud*…pada malam yang lain dengan Qira’at ala Zaid ibn Tsabit**…dan pada malam yang ketiga dengan Qiraa’at yang lainnya, demikianlah seterusnya.

Apabila ia shalat sendiri, mungkin dalam satu shalat ia membaca seluruh al-Qur’an (sampai khatam 30 juz). Apabila melewati firman Allah, (artinya) “Kelak mereka akan mengetahui. Ketika belenggu dan rantai di pasang di leher mereka, seraya mereka diseret ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka di bakar dalam api” (QS.Ghafir:70-72), atau melewati ayat-ayat yang semisalnya yang berisi janji dan ancaman, maka berdirilah bulu kuduknya, hancur hatinya dan bercucuranlah air matanya. Kemudian ia selalu saja memulai dan mengulanginya lagi hingga hampir membuatnya mati.

Ia terbiasa mengadakan perjalanan ke Baitul Haram dua kali tiap tahun…sekali di bulan Rajab berihram untuk umrah dan sekali di bulan Dzul Qa’dah berihram untuk haji. Adalah para penuntut ilmu serta pencari kebaikan dan nasehat berdatangan ke Kufah agar mereka bisa minum dari sumber-sumber air Said ibn Jubair yang memancar segar…Dan agar mereka bisa menciduk petunjuknya yang lurus.

Ini si fulan bertanya kepadanya tentang khosy-yah (rasa takut), apakah itu?, Ia menjawabnya, “Khosy-yah adalah kamu takut kepada Allah hingga rasa takutmu menjadi penghalang antara dirimu dengan maksiat kepada-Nya.”

Dan fulan yang lain bertanya kepadanya tentang dzikir, apa itu? Maka ia menjawab, “Dzikir adalah taat kepada Allah AWJ, barangsiapa yang menghadap kepada Allah dan mentaati-Nya, maka ia telah berdzikir kepada-Nya dan barangsiapa yang berpaling dari-Nya dan tidak mentaati-Nya, maka ia tidak berdzikir kepada-Nya walaupun ia menghabiskan malam harinya dengan bertasbih dan tilawah.”

Adalah Kufah ketika dijadikan oleh Said ibn Jubair sebagai rumah tinggalnya tunduk di bawah pemerintahan Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofy. Dimana al-Hajjaj ketika itu adalah gubernur Irak, wilayah timur dan negeri Maa Wara’ an-Nahr (Asia Tengah). Ketika itu ia duduk menikmati puncak kekuasaannya. Dan itu setelah ia berhasil membunuh Abdullah ibn az-Zubair*** dan menumpas gerakannya…dan menundukkan Irak kepada kesultanan Bani Umayyah serta memadamkan api pergolakan (revolusi) yang terjadi di sana sini…Juga ia selalu mempergunakan pedang untuk membabat leher manusia (yang menentangnya)…

Ia menyebarkan rasa takut di seluruh penjuru negeri, sehingga hati-hati manusia dipenuhi dengan rasa takut dan ngeri terhadap renggutannya (siksanya).

Kemudian Allah berkehendak agar terjadi perselisihan antara al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi dengan Abdurrahman ibn al-Asy’ats salah seorang pembesar panglimanya. Dan (Allah berkehendak) untuk membalik perselisihan tersebut menjadi sebuah fitnah yang melumat segala yang hijau dan yang kering serta meninggalkan luka yang dalam di tubuh Kaum Muslimin.

Di antara cerita dari fitnah tersebut adalah bahwa al-Hajjaj mengutus Ibnu al-Asy’ats bersama pasukannya untuk memerangi “Ratbiil” raja Turki yang menguasai beberapa daerah yang terletak di seberang Sijistan****.

Maka sang panglima pemberani yang selalu sukses ini memerangi sebagian besar dari negeri “Ratbiil” dan menguasai benteng-benteng yang kuat dari negerinya. Ia memperoleh ghanimah (harta rampasan perang, penj.) yang banyak dari kota-kota dan desa-desanya. Kemudian ia mengirim utusan kepada al-Hajjaj menyampaikan kabar gembira kemenangan yang besar, dan mereka membawa seperlima ghanimah untuk disimpan di gudang Baitul Mal Muslimin. Ia juga menulis surat untuknya yang berisi permintaan ijinnya untuk berhenti berperang beberapa waktu guna menguji tempat-tempat masuk negeri dan tempat-tempat keluarnya serta mempelajari tabiat dan keadaannya. Dan yang demikian itu sebelum memasuki jalan-jalan gunungnya yang sepi dan majhul serta (sebelum) pasukan yang menang menghadapi bahaya.

Maka al-Hajjaj marah kepadanya…

Ia (al-Hajjaj) mengirim surat kepadanya dan mengatainya sebagai seorang pengecut dan lemah. Ia juga memperingatkannya dengan kehancuran dan kebinasaan dan mengancam akan memecatnya dari (jabatan) panglima pasukan.

Maka, Abdurrahman mengumpulkan para tentarannya dan para komando pletonnya. Ia membacakan surat al-Hajjaj kepada mereka serta bermusyawarah tentangnya.

Mereka mengajaknya untuk melakukan khuruuj (pemberontakan) terhadapnya dan bersegera untuk melepaskan ketaatan kepadanya.

Abdurrahman berkata kepada mereka, “Apakah kalian akan membaiatku atas hal tersebut dan bersama-sama membantuku untuk berjihad (menghadapinya) sehingga Allah mensucikan negeri Irak dari kejahatannya.”

Para tentara lantas membaiatnya atas seruan terebut.

Abdurrahman ibn al-Asy’ats bergerak bersama pasukannya yang telah dipenuhi kebencian terhadap al-Hajjaj. Terjadilah pertempuran-pertempuran sengit antara dirinya dengan pasukan Ibn Yusuf ats-Tsaqofi, dimana kemenangan gemilang dapat diraihnya. Maka, sempurnalah penguasaannya terhadap Sijistan dan sebagian besar negeri Persia. Kemudian ia mulai melangkah ingin merebut Kufah dan Bashrah dari genggaman al-Hajjaj.

Di saat api pertempuran berkobar antara dua kelompok, dan Ibn al-Asy’ats selalu berpindah dari satu kemenangan kepada kemenangan lain, al-Hajjaj tertimpa musibah yang menjadikan lawannya menjadi bertambah kuat.

(Ceritanya demikian), bahwa para wali kota mengirim surat kepada al-Hajjaj yang isinya, “Bahwa Ahli dzimmah (Yahudi dan Nasrani yang hidup di antara kaum muslimin dan berada dalam dzimmah (pertanggungan) Allah dan Rasul-Nya) mulai masuk Islam agar mereka terbebas dari membayar Jizyah (pajak yang dibayar oleh ahlu dzimmah ), dan mereka telah meninggalkan desa-desa yang mereka bekerja padanya dan menetap di kota-kota. Dan bahwa kharaaj (pajak bumi) telah lepas (hilang) dan pungutan-pungutan telah habis.”

Maka, al-Hajjaj menulis surat kepada para walinya di Bashrah dan yang lainnya. Ia memerintahkan mereka untuk mengumpulkan seluruh orang yang berpindah ke kota dari Ahli dzimmah…dan mengembalikan mereka ke desa-desa walaupun perpindahannya membutuhkan waktu yang lama.

Para wali melasanakan perintah tersebut dan mereka mengeluarkan jumlah yang banyak dari rumah-rumah mereka, dan menjauhkan mereka dari sumber-sumber rizki serta mengumpulkan mereka di ujung kota.

Mereka juga mengeluarkan para wanita dan anak-anak…dan mendorong mereka untuk berjalan menuju desa setelah beberapa saat lamanya mereka berpisah dengannya.

Mulailah para wanita, anak-anak dan orang tua menangis, menjerit, meminta tolong dan memanggil-manggil “Wahai Muhammad (tolonglah)…wahai Muhammad (tolonglah)…”

Mereka dibikin bingung atas apa yang mereka perbuat dan kemanakah mereka akan pergi?

Para Fuqaha dan Qurra (ahli ibadah dan zuhud dan hafal qur’an) Bashrah keluar untuk menolong mereka dan memberikan syafaat, namun mereka tidak mampu. Mulailah mereka ikut menangis karena tangisan mereka, dan mereka memohon pertolongan atas apa yang menimpa mereka.

Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Abdurrahman ibn al-Asy’ats, ia menyeru para Fuqaha dan Qurra untuk membantunya.

Sekelompok dari para pembesar tabi’in dan imam muslimin memenuhi seruannya, dan di barisan paling depan ada Said ibn Jubair dan Abdurrahman ibn Abi Laila (salah seorang pembesar tabi’in ), asy-Sya’bi (salah seorang fuqoha tabi’in dan penyair serta cendekiawan mereka yang sangat langka), Abu al-Bukhturi (Seorang tabi’in ahli ibadah dan zuhud ) dan yang lainnya.

Berputarlah roda pertempuran antara kedua kelompok. Pada mulanya kemenangan ada pada pihak Ibn al-Asy’ats atas al-Hajjaj dan para tentaranya.

Kemudian mulailah al-Hajjaj mengungguli sedikit demi sedikit, sehingga Ibn al-Asy’ats menderita kekalahan yang begitu memilukan dan lari menyelamatkan dirinya sendiri. Adapun pasukannya, maka mereka menyerahkan diri kepada al-Hajjaj dan bala tentaranya.

Al-Hajjaj memerintahkan juru bicaranya untuk menyeru di antara para prajurit yang mengalami kekalahan dan mengajak mereka untuk memperbaharui bai’at kepadanya.

Sebagian besar dari mereka memenuhi seruan tersebut dan sebagian lagi menolak. Adalah Said ibn Jubair di antara orang yang menolak.

Tatkala orang-orang yang menyerah mulai maju untuk membaiatnya, tiba-tiba mereka di kejutkan dengan sesuatu yang tidak pernah mereka duga.

Al-Hajjaj mulai berkata kepada salah satu dari mereka, “Apakah kamu bersaksi atas dirimu, bahwa kamu telah kafir dengan membatalkan baiat terhadap wali Amirul Mukminin?”

Apabila ia menjawab “ya”, maka ia menerima pembaharuan baiatnya dan membebaskannya, dan bila ia menjawab “tidak”, maka ia membunuhnya.

Sebagian dari mereka tunduk kepadanya dan mengakui kekufuran atas dirinya untuk meyelamatkan dirinya dari pembunuhan.

Dan sebagian lainnya merasa berat dan mengingkarinya. Sehingga, ia membayar keengganannya dan pengingkarannya dengan leher sebagai tebusannya.

Berita pembantaian yang mengerikan ini telah menyebar, dimana telah terbunuh sekian ribu orang karenanya. Dan sekian ribu dari mereka selamat setelah mereka mengakui kekufuran atas dirinya.

Dan di antaranya pula…ada seorang lelaki tua renta dari kabilah “Khots’am”, ia tidak berpihak kepada salah satu dari kedua kelompok tersebut…ia tinggal di seberang sungai Eufrat (sungai yang membentang antara Suriyah dan Irak ).

Ia diseret kehadapan al-Hajjaj bersama orang-orang yang diseret kepadanya. Tatkala ia dimasukkan menghadapnya, al-Hajjaj bertanya tentang keadaannya. Ia menjawab, “Semenjak api pertempuran berkobar aku selalu saja menyepi/menyendiri di seberang sungai ini. Aku menunggu apa yang akan disingkap oleh pertempuran ini, tatkala engkau yang muncul dan menang, aku datang kepadamu untuk berbaiat.”

“Celaka engkau…apakah engkau hanya duduk saja menunggu tanpa ikut berperang bersama amirmu (pemimpinmu)?!” kata al-Hajjaj.

Kemudian ia (al-Hajjaj) menghardiknya seraya berkata, “Apakah kamu bersaksi atas dirimu dengan kekufuran?”

Ia menjawab, “Seburuk-buruk orang adalah aku bila aku beribadah kepada Allah selama delapan puluh tahun, kemudian setelah itu aku bersaksi kekufuran atas diriku.”

“Kalau demikian aku akan membunuhmu” kata al-Hajjaj.
Ia menjawab, “Apabila engkau membunuhku…maka demi Allah umurku tidak tersisa kecuali hanya sebatas kesabaran keledai menahan haus (waktu yang singkat, penj.)…ia minum di pagi hari dan di sore harinya mati…dan aku sedang menunggu kematian pagi dan sore hari, maka lakukanlah apa yang kamu kehendaki.”

“Penggal lehernya” perintah al-Hajjaj kepada algojonya.
Sang algojo lantas memenggal lehernya. Tidak ada seorang pun di majlis tersebut dari para pengikut al-Hajjaj atau dari orang-orang yang memusuhinya kecuali mengagungkan syaikh yang lanjut usia tadi, dan merasa iba serta kasihan kepadanya.

Kemudian al-Hajjaj memanggil Kamil ibn Ziyad an-Nakha’i dan berkata kepadanya, “Apakah kamu bersaksi kekufuran atas dirimu?”

Demi Allah aku tidak akan bersaksi” jawabnya.
“Kalau demikian aku akan membunuhmu” kata al-Hajjaj.
Ia menjawab, “Laksanakan apa yang menjadi keputusanmu…sesungguhnya waktu untuk pertemuan antara kita adalah di sisi Allah (di hari kiamat)…dan setelah pembunuhan ada hisab.”

Al-Hajjaj berkata kepadanya, “Hujjah pada saat itu akan menjadi bumerang atas dirimu bukan menjadi penolongmu.”
Ia menjawab, “Itu apabila kamu adalah Qadli-nya saat itu.”
“Bunuhlah ia” perintahnya.
Ia kemudian dimajukan dan dibunuh.

Kemudian dihadapkan kepadanya orang lain lagi. Ia sangat membencinya dan sangat ingin membunuhnya di sebabkan atas apa yang sampai kepadanya bahwa orang tersebut meremehkannya…ia lantas mendahuluinya dengan berkata, “Sungguh aku melihat seseorang di hadapanku yang aku tidak menyangkanya akan bersaksi kekufuran atas dirinya.”

Al-Hajjaj kemudian membebaskannya padahal ia sangat ingin membunuhnya.

Berita pembantaian yang menyeramkan itu telah tersebar, dimana sekian ribu muslimin yang teguh dalam pendirian dibantai disana…dan sekian ribu yang lainnya selamat dari pembantaian tersebut, mereka adalah orang-orang yang dipaksa untuk mensifati diri mereka dengan kekufuran.

Sehingga Said ibn Jubair merasa yakin bahwa apabila ia berada di hadapan al-Hajjaj ia akan berada dalam dua pilihan tidak ada pilihan ketiga, yaitu ia akan dipenggal lehernya atau ia harus mengakui kekufuran atas dirinya. Kedua pilihan tersebut bagaikan buah si malakama…maka, ia memilih untuk keluar dari negeri Irak dan menjauh (bersembunyi) dari pengkaungan. Ia terus berjalan di bumi Allah yang luas, bersembunyi dari al-Hajjaj dan mata-matanya, hingga ia bernaung di sebuah desa kecil di tanah Mekkah.

Ia terus berada dalam keadaan tersebut genap sepuluh tahun lamanya. Waktu yang cukup untuk memadamkan api al-Hajjaj yang menyala dalam dadanya, dan cukup untuk menghilangkan kedengkian yang ada pada dirinya terhadapnya.

Hanya saja yang terjadi tidak pernah di perkirakan oleh siapapun…yaitu datangnya seorang gubernur baru dari para wali Bani Umayyah…ia adalah “Khalid ibn Abdullah al-Qosri.”

Para sahabat Said ibn Jubair merasa takut dalam hatinya dari (kejahatan)nya karena mereka mengetahui keburukan perilakunya dan memprediksikan keburukan pada kedua tangannya.

Sebagian dari mereka datang kepada Said seraya berkata kepadanya, “Sesungguhnya orang ini (Khalid ibn Abdullah al-Qosri) telah datang ke Mekkah, demi Allah kami merasa tidak aman dengan keberadaanmu…perkenankanlah permintaan kami dan keluarlah dari negeri ini.”

Ia menjawab, “Demi Allah, aku telah lari hingga aku merasa malu terhadap Allah. Aku telah ber’azm untuk tetap tinggal di tempat ini…biarlah Allah berbuat apa yang Dia kehendaki kepadaku.”

Sumber: ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn Sa’d: 6/256, az-Zuhd oleh Ahmad ibn Hanbal: 370, Thabaqat al-Fuqoha oleh asy-Syiraazi: 82, al-Bidayah wan Nihayah: 9/96-97, Tarikh al-Bukhari: 3/461, Wafayaatul A’yaan: 2/371, Tarikhul Islam: 4/2, Tadzkiratul Huffadz: 1/71

Published in: on Oktober 14, 2007 at 7:11 am  Komentar Dinonaktifkan pada Said Ibn Jubair  

Rabi’ bin Ziad al-Haritsy

Namanya adalah ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy, gubernur Khurasan, penakluk Sajistan dan komandan yang gagah berani sedang bergerak memimpin pasukannya berperang di jalan Allah bersama budaknya yang pemberani, Farrukh.

Setelah Allah memuliakannya dengan penaklukan Sajistan dan belahan bumi lainnya, dia bertekad untuk menutup kehidupannya yang semarak dengan menyeberangi sungai Sihun (sebuah sungai besar yang terletak setelah Samarkand, perbatasan Turkistan) dan mengangkat bendera tauhid di atas puncak bumi yang disebut dengan Negeri Di Balik Sungai itu. (lebih…)

Published in: on Oktober 14, 2007 at 6:54 am  Komentar Dinonaktifkan pada Rabi’ bin Ziad al-Haritsy  

‘Atha` Bin Abi Rabah

“Saya tidak melihat orang yang mencari ilmu karena Allah, kecuali tiga orang yakni: ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.” Salamah bin Kuhail

Kita sekarang memasuki sepuluh hari terakhir bulan Dzul Hijjah tahun 97 H. Dan rumah tua (Ka’bah) ini disesaki oleh tamu-tamu Allah dari segala penjuru; para pejalan kaki dan para pengendara, Tua dan muda, Laki-laki dan perempuan, berkulit hitam dan putih; orang arab dan non Arab serta tuan dan ada yang dipertuan alias rakyat. Mereka semua telah datang menghadap Raja manusia dengan khusyu’ seraya bertalbiyah dan mengharapkan pahala Allah. (lebih…)

Published in: on Oktober 14, 2007 at 6:35 am  Komentar Dinonaktifkan pada ‘Atha` Bin Abi Rabah